InfoSAWIT, JAKARTA – Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) baru-baru ini meluncurkan revisi Prinsip dan Kriteria (P&C) 2024, sebuah standar penting yang diharapkan akan membawa dampak positif bagi para anggota, termasuk perusahaan kelapa sawit. Namun, perubahan ini menuai kritik dari kelompok lingkungan yang menyatakan bahwa revisi ini melemahkan perlindungan terhadap deforestasi, yang sebelumnya dianggap sebagai komitmen utama RSPO.
Grant Rosoman, Penasihat Senior Greenpeace International, mengungkapkan kekecewaannya atas revisi ini. Menurutnya, RSPO justru melonggarkan komitmen terhadap prinsip *No Deforestation*, yang seharusnya menjadi inti dari misi RSPO. Salah satu perubahan yang menjadi sorotan adalah penghapusan definisi tegas tentang Hutan Stok Karbon Tinggi (High Carbon Stock/HCS), yang sebelumnya telah disusun melalui kolaborasi antara perusahaan, petani kecil, ilmuwan, dan aktivis lingkungan.
Menurut Rosoman, definisi HCS yang baru memungkinkan dilanjutkannya deforestasi dengan pendekatan yang membandingkan potensi penyimpanan karbon dari perkebunan kelapa sawit yang akan menggantikan area hutan, bukan mengutamakan pelestarian hutan itu sendiri. “Dengan definisi ini, pelestarian hutan dapat terabaikan. RSPO seharusnya tidak memberi celah bagi perusahaan untuk melakukan konversi lahan yang berdampak pada hilangnya hutan alam,” kata Rosoman dalam pernyataan resmi dikutip InfoSAWIT, pada Minggu (27/10/2024).
Selain itu, dalam standar P&C 2024 yang baru, deforestasi setelah November 2018 diizinkan asalkan perusahaan mengikuti prosedur remediasi dan kompensasi yang telah ditetapkan. Bagi Rosoman, pendekatan ini tidak cukup memadai, terutama dengan segera berlakunya Regulasi Deforestasi Uni Eropa (EUDR). Ia menilai bahwa RSPO perlu menetapkan batas waktu deforestasi absolut agar standar ini selaras dengan pasar global, khususnya di Eropa. “RSPO harus memastikan standarnya relevan dan tahan masa depan, terutama untuk memenuhi kebutuhan pasar utama seperti Uni Eropa,” tegas Rosoman.
Lebih lanjut, ia mengkritik adanya tekanan dari perusahaan kelapa sawit yang bertujuan untuk melemahkan regulasi terkait deforestasi, terutama di Uni Eropa. Beberapa perusahaan, menurut Rosoman, mendorong penundaan penerapan komitmen mereka untuk rantai pasok yang “bersih” hingga 2025 atau bahkan lebih, yang memungkinkan praktik deforestasi terus berlangsung dengan pengawasan yang lebih longgar.
Sementara itu, Kiki Taufik, Kepala Global Kampanye Hutan Indonesia Greenpeace, menyuarakan keprihatinannya terkait pendekatan RSPO terhadap akuntabilitas perusahaan. Ia menyoroti bahwa beberapa perusahaan kelapa sawit menggunakan entitas ‘bayangan’ di yurisdiksi luar negeri untuk menghindari kewajiban lingkungan, termasuk komitmen untuk menghentikan deforestasi.
BACA JUGA: ICMI Orda Aceh Singkil dan PT. Nafasindo Dorong Petani Sawit Menuju Sertifikasi RSPO
“RSPO perlu menerapkan akuntabilitas di tingkat grup perusahaan dengan memastikan bahwa tidak ada deforestasi yang dilakukan oleh perusahaan yang memiliki kendali bersama dengan anggota sertifikasinya. Deklarasi diri saja tidak cukup untuk menunjukkan komitmen yang kredibel terhadap standar lingkungan,” kata Taufik.