InfoSAWIT, JAKARTA — Prinsip Free, Prior, and Informed Consent (FPIC) kembali menjadi sorotan dalam diskusi terkait standar keberlanjutan industri sawit, khususnya yang diatur oleh Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO). Prinsip ini mengutamakan hak masyarakat untuk memberikan persetujuan bebas, tanpa tekanan, dan informasi yang memadai sebelum lahan mereka digunakan untuk kegiatan industri. Namun, sejumlah aktivis lingkungan dan masyarakat sipil menyampaikan kekhawatiran tentang potensi pelemahan prinsip ini dalam revisi terbaru standar RSPO.
Rahma dari GEMAWAN mengungkapkan pentingnya FPIC dalam melindungi hak masyarakat yang hidup di sekitar wilayah perkebunan sawit. Ia menjelaskan bahwa prinsip FPIC bukan sekadar formalitas, melainkan wujud penghormatan terhadap hak masyarakat. Menurutnya, ketidakpatuhan terhadap FPIC berkontribusi pada konflik yang berlarut-larut antara perusahaan sawit dan masyarakat di Kalimantan Barat.
“FPIC menjadi sangat penting karena memungkinkan masyarakat menyetujui atau menolak kehadiran industri di wilayah mereka. Namun, banyak perusahaan yang hanya melakukan sosialisasi atau bahkan mengabaikan FPIC. Ini menunjukkan bahwa prinsip ini masih belum dianggap sebagai kewajiban,” ungkap Rahma dalam Webinar “Pelemahan FPIC dalam Standar Sertifikasi Komoditas Sawit: Implikasi bagi Masyarakat dan Industri Sawit Indonesia” yang diinisiasi oleh Sawit Watch pada Selasa, 22 Oktober 2024.
BACA JUGA: Kebakaran Pabrik Pengolahan Minyak Sawit Milik Musim Mas di Deli Serdang, Sempat Membuat Warga Panik
Selain Rahma, Norman Jiwan dari Lembaga Bentang Alam Hijau (LemBAH) menyoroti bahwa FPIC tidak semata-mata tergantung pada mekanisme sertifikasi seperti RSPO. Ia menyebutkan bahwa perusahaan sawit di luar keanggotaan RSPO juga dapat mengimplementasikan FPIC dengan baik, jika mereka memiliki komitmen yang kuat untuk menghormati hak masyarakat adat.
“Contoh yang mendekati implementasi FPIC yang baik ada di Kabupaten Kapuas Hulu dan Kabupaten Sambas, di mana perusahaan secara sukarela mengembalikan tanah kepada masyarakat adat dan bahkan merelakan revisi Hak Guna Usaha (HGU) mereka. Ada lahan yang kini telah berubah status menjadi Sertifikat Hak Milik (SHM) yang dipegang oleh masyarakat,” papar Norman dalam keterangan resmi dikutip InfoSAWIT, Senin (28/10/2024).
Namun, Norman juga menekankan pentingnya mempertahankan FPIC dalam revisi standar RSPO. Menurutnya, pelemahan prinsip ini akan mengurangi kredibilitas industri sawit yang ingin mencapai keberlanjutan. “FPIC harus dipertahankan dan diperkuat agar dapat menjadi standar keberlanjutan sawit di RSPO,” tambahnya.
BACA JUGA: Greenpeace Kritik P&C RSPO 2024 Dianggap Melemahkan Perlindungan Deforestasi
Mansuetus Darto, Ketua Dewan Nasional Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), juga menyuarakan keprihatinan serupa. Ia menyebut bahwa dalam draf terbaru standar RSPO, FPIC sempat mengalami pelemahan. Pelemahan ini terlihat dari kasus-kasus perampasan lahan yang dilaporkan oleh organisasi masyarakat sipil kepada RSPO yang kerap kali tidak terselesaikan. Situasi ini, menurutnya, berpotensi merusak kredibilitas anggota RSPO dan mencederai kepercayaan publik.
“Pelemahan FPIC ini sangat disayangkan karena prinsip ini adalah landasan utama untuk melindungi masyarakat dari praktik perampasan lahan. Kami berharap FPIC yang sempat dilemahkan, dapat dikembalikan seperti dalam standar tahun 2018,” ujar Darto.