InfoSAWIT, JAKARTA – Kementerian Agraria dan Tata Ruang/Badan Pertanahan Nasional (ATR/BPN) menyatakan kesiapannya menindaklanjuti rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia untuk menyelesaikan tumpang tindih lahan perkebunan kelapa sawit dengan kawasan hutan. Hal ini disampaikan Wakil Menteri ATR/Wakil Kepala BPN, Ossy Dermawan, dalam pertemuan di Gedung Ombudsman RI.
Menurut Ossy, hasil analisis Ombudsman terkait pencegahan maladministrasi dalam tata kelola industri kelapa sawit menjadi dasar penting untuk memperbaiki pengelolaan lahan di Indonesia. Salah satu fokus utama adalah memberikan kejelasan status Hak Atas Tanah (HAT) bagi lahan perkebunan sawit rakyat yang berada dalam kawasan hutan.
“Ombudsman telah menyerahkan rekomendasinya secara lugas. Pekerjaan rumah utama kami adalah menyelesaikan tumpang tindih lahan sawit dengan kawasan hutan untuk memperbaiki tata kelola maladministrasi di sektor ini,” ujar Ossy dikutip InfoSAWIT dari Antara, Jumat (22/11/2024).
BACA JUGA: Limbah Cair Pabrik Sawit Tak Lagi Sebagai Masalah Lingkungan, Justru Bisa Bernilai Ekonomi
Berdasarkan data, sekitar 37% dari total kawasan darat Indonesia, setara dengan 70,4 juta hektare, berada di bawah domain Kementerian ATR/BPN, sementara 63% atau 120,4 juta hektare merupakan kawasan hutan yang menjadi tanggung jawab Kementerian Kehutanan.
Ossy menegaskan bahwa setelah HAT diterbitkan, pengelolaan lahan akan diserahkan kembali kepada kementerian teknis terkait. Namun, proses ini membutuhkan kolaborasi antarinstansi untuk memastikan kejelasan status tanah dan meminimalkan konflik.
“Kami harus mengedepankan semangat meniadakan ego sektoral, mengikuti visi-misi Presiden Prabowo Subianto untuk mewujudkan kemakmuran rakyat. Semua masalah pasti ada solusinya, asalkan ada political will yang kuat,” tambahnya.
BACA JUGA: BPDPKS Tandatangani 52 Kerja Sama Grant Riset Sawit 2024, Fokus pada Inovasi Berkelanjutan
Rekomendasi Ombudsman juga mencakup penyediaan data berbasis Kebijakan Satu Peta, yang diyakini dapat menjadi rujukan utama dalam menyelesaikan permasalahan tata ruang kawasan kehutanan dan nonkehutanan.
“Kebijakan ini penting untuk meminimalkan maladministrasi di masa depan, karena menjadi panduan bagi semua kementerian dan lembaga,” kata Ossy.
Laporan Ombudsman RI mengidentifikasi tiga aspek utama yang rentan terhadap maladministrasi dalam tata kelola industri sawit, diantaranya terkait Lahan – Masalah utama berupa tumpang tindih lahan antara perkebunan sawit dan kawasan hutan. Lantas, Perizinan – Kompleksitas dan tumpang tindih izin usaha sering memicu konflik. Serta, Tata Niaga – Ketidaksesuaian antara produksi dan pemasaran komoditas sawit.
Penyelesaian masalah lahan, menurut laporan tersebut, harus dimulai dari kepastian hukum atas kepemilikan HAT dan pengakuan legal lainnya.
Dengan langkah-langkah ini, Kementerian ATR/BPN optimis dapat mendukung pengelolaan perkebunan sawit yang lebih terintegrasi, berkeadilan, dan berkelanjutan untuk mendukung kesejahteraan masyarakat. (T2)