InfoSAWIT, JAKARTA – Diakui atau tidak keberpihakan sektor perkebunan kelapa sawit tidak hanya berfokus pada pembangunan kebun, tetapi juga faktanya telah memberikan dampak signifikan terhadap peningkatan ekonomi masyarakat.
Dalam beberapa tahun terakhir, sektor perkebunan kelapa sawit telah menunjukkan peran penting dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat di berbagai daerah, terutama di wilayah pelosok. Menurut Pemimpin Redaksi InfoSAWIT, Ignatius Ery Kurniawan, keberpihakan sektor sawit hari ini telah membuktikan bahwa kebun sawit bukan hanya sekadar lahan untuk menanam, melainkan juga dapat berkontribusi secara signifikan terhadap perekonomian lokal. Ia mengungkapkan bahwa ketika sebuah daerah memiliki kebun sawit, akan terlihat perubahan yang mencolok—desa yang sebelumnya terpencil bisa bertransformasi menjadi daerah yang lebih maju dan akhirnya berkontribusi terhadap perkembangan provinsi.
Proses ini, jelas Ery, tidak terjadi dalam waktu singkat. Perubahan tersebut memerlukan waktu bertahun-tahun, bahkan puluhan tahun. Dalam konteks pemekaran wilayah, sektor sawit turut berperan dalam pertumbuhan perekonomian yang terlihat dari peningkatan jumlah provinsi yang ada di Indonesia. “Dari 34 provinsi sekarang menjadi 38 provinsi, salah satu sumber pendapatan daerah adalah dari sawit,” katanya saat membuka acara FGD SAWIT BERKELANJUTAN VOL 16, bertajuk “Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Menumbuhkan Ekonomi Masyarakat Perdesaan”, yang diadakan media InfoSAWIT yang didukung BPDPKS, awal November 2024, di Jakarta.
BACA JUGA: Petani dan Prinsip Sawit Berkelanjutan
Menyongsong Hari Sawit yang diperingati setiap 18 November, Ery menyatakan bahwa banyak masyarakat, terutama yang tinggal di daerah perkebunan, sudah terlibat dalam sektor ini sebagai petani. Namun, ia juga mencatat bahwa masih banyak tantangan yang dihadapi, terutama dalam hal keberpihakan pemerintah yang dibutuhkan untuk mendukung petani. Salah satu tantangan utama adalah keberadaan kelembagaan petani, yang masih minim. “Banyak petani yang belum memiliki kelompok atau koperasi, sehingga dukungan dan pendampingan dari pihak terkait sangat diperlukan,” ujarnya.
Ery juga menyinggung pentingnya pendampingan dari perusahaan perkebunan untuk membantu petani yang masih beroperasi secara individu. Ia berharap, dengan adanya pendampingan, para petani bisa berkumpul dalam kelompok yang lebih besar, seperti koperasi, untuk meningkatkan daya tawar mereka. “Dari kelompok kecil yang awalnya hanya terdiri dari 10 hingga 20 orang, kita berharap bisa berkembang menjadi puluhan bahkan ratusan anggota dalam koperasi,” katanya.
Selanjutnya, ia menekankan kebutuhan akan pendanaan untuk peremajaan perkebunan kelapa sawit, yang merupakan salah satu pekerjaan rumah pemerintah untuk mendorong produktivitas. “Kita harus berbicara mengenai peningkatan produktivitas kebun sawit, dan salah satu cara untuk mencapainya adalah dengan melakukan peremajaan tanaman,” tuturnya. Menurutnya, dukungan berupa hibah dana dari pemerintah melalui Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) akan sangat membantu dalam hal ini.
Masalah lain yang dihadapi oleh petani adalah kurangnya sarana dan prasarana yang memadai di kebun-kebun mereka. “Kami menginginkan adanya subsidi untuk sarana dan prasarana yang dibutuhkan oleh petani, karena saat ini banyak yang masih kekurangan fasilitas infrastruktur yang memadai,” katanya. Ia menyebutkan bahwa upaya pendampingan dan dukungan infrastruktur harus menjadi perhatian serius agar para petani dapat meningkatkan hasil panen mereka.