Proyek Food Estate dan Ancaman Ekologis: Refleksi Gagalnya Swasembada Pangan di Indonesia

oleh -1517 Dilihat
Editor: Redaksi InfoSAWIT
InfoSAWIT
Dok. InfoSAWIT/Ilustrasi Perkebunan Kelapa Sawit.

InfoSAWIT, JAKARTA – Rencana pemerintah untuk membuka 20 juta hektare hutan sebagai bagian dari proyek Food Estate terus menuai kritik dari berbagai pihak. Koordinator Nasional Pantau Gambut, Iola Abas, menyatakan bahwa alokasi tersebut berpotensi menciptakan bencana ekologis besar. Berdasarkan data Pantau Gambut 2023, dari 3,3 juta hektare lahan yang akan diputihkan, 407.267 hektare berada dalam Kesatuan Hidrologis Gambut, dengan 84% masuk dalam fungsi lindung.

“Monokultur sawit tidak hanya menyebabkan deforestasi tetapi juga kerusakan hidrologis, pelepasan emisi besar-besaran, banjir, dan kekeringan,” ujar Abas dalam keterangan resmi ditulis InfoSAWIT, Minggu (26/1/2025). Bukti lain ditemukan di Kalimantan Tengah, di mana kebakaran hutan pada 2023 menghanguskan 91.352 hektare lahan, termasuk area Food Estate.


Kritik juga diarahkan pada tata kelola industri sawit yang dianggap masih penuh praktik korupsi. Contohnya adalah dugaan penyelewengan penarikan denda administratif oleh pejabat Kementerian Kehutanan dan Lingkungan Hidup. Uli Arta Siagian dari WALHI Nasional menambahkan bahwa ekspansi sawit sering memicu konflik agraria, yang berujung pada kriminalisasi masyarakat adat.

BACA JUGA: Kick-Off Sistem Monitoring dan Evaluasi Program Prioritas Nasional 2025 Bidang Polhukhankam Dimulai

Ekspansi lahan monokultur dinilai berdampak signifikan terhadap bencana ekologis. Data WALHI mencatat bahwa antara 2015 hingga 2022, bencana hidrometeorologi seperti banjir, longsor, dan cuaca ekstrem menyumbang 90% dari total bencana di Indonesia. Dalam periode yang sama, sebanyak 10.191 jiwa dilaporkan meninggal atau hilang, sementara 43 juta lainnya terdampak. Kerugian ekonomi akibat bencana ini mencapai Rp 101,2 triliun.

Direktur Yayasan Pusaka Bentala Rakyat, Franky Samperante, mengkritik pendekatan proyek Food Estate yang mengabaikan reforma agraria sejati. Menurutnya, solusi berkelanjutan seharusnya fokus pada petani kecil dan masyarakat adat, bukan pada model pertanian korporasi yang rakus lahan.

Proyek Food Estate yang berfokus pada padi atau komoditas tertentu dianggap berbahaya bagi ketahanan pangan nasional. Refki Saputra, Juru Kampanye Hutan Greenpeace Indonesia, menegaskan bahwa ketergantungan pada satu jenis pangan akan mengulang kesalahan rezim Orde Baru. Ia juga mengingatkan bahwa krisis iklim telah memperlambat produksi pertanian global hingga 21%, dengan dampak lebih parah di Indonesia yang mencapai penurunan produktivitas 30-33%.

BACA JUGA: Harga TBS Sawit Jambi Periode 24-30 Januari 2025 Turun Rp 39,72/Kg

Dari sudut pandang ekonomi, Direktur Eksekutif Sustain, Tata Mustasya, menyatakan bahwa menjaga kelestarian hutan adalah investasi bagi kesejahteraan manusia. Membabat 20 juta hektare hutan hanya akan meningkatkan risiko global, seperti cuaca ekstrem dan hilangnya keanekaragaman hayati.

Dengan berbagai bukti kegagalan masa lalu dan ancaman besar di masa depan, pemerintah didesak untuk mengevaluasi ulang rencana proyek Food Estate dan lebih fokus pada pendekatan berkelanjutan yang menghormati hak masyarakat lokal dan menjaga ekosistem. (T2)

InfoSAWIT

InfoSAWIT

Dapatkan update berita seputar harga TBS, CPO, biodiesel dan industri kelapa sawit setiap hari dengan bergabung di Grup Telegram "InfoSAWIT - News Update", caranya klik link InfoSAWIT-News Update, kemudian join. Anda harus install aplikasi Telegram terlebih dulu di ponsel. Bisa juga IKUTI BERITA LAINNYA DI GOOGLE NEWS.


Atau ikuti saluran Whatsapp "InfoSAWIT News", caranya klik link InfoSAWIT News dan Group Whatsapp di InfoSAWIT News Update

Untuk informasi langganan dan Iklan silahkan WhatsApp ke Marketing InfoSAWIT_01 dan Marketing InfoSAWIT_02 atau email ke sawit.magazine@gmail.com