InfoSAWIT, JAKARTA – Peluncuran dana abadi Danantara oleh Presiden Prabowo Subianto pada 24 Februari 2025 menandai komitmen besar pemerintah dalam mendorong investasi pada sektor pangan dan energi terbarukan. Dengan aset senilai US$900 miliar, industri kelapa sawit menjadi salah satu sektor yang sesuai dengan program ini, mengingat peran strategisnya sebagai sumber utama pangan dan bahan baku biofuel.
Namun, kebutuhan investasi besar dalam pengembangan industri berbasis sumber daya alam tentu memerlukan ketersediaan lahan yang luas. Sayangnya, rencana ekspansi lahan ini sering menghadapi hambatan klasik berupa tuduhan deforestasi yang kerap menghambat investasi. Oleh karena itu, pemerintah dan Danantara perlu segera menangani isu ini sebagai faktor kunci dalam menjaga keseimbangan antara kelestarian lingkungan dan keberlanjutan ekonomi industri kelapa sawit.
Indonesia memiliki luas daratan 188 juta hektare, yang terbagi dalam dua kategori utama, yakni kawasan hutan dan kawasan non-hutan (area penggunaan lain). Berdasarkan data Kementerian Kehutanan, sekitar 120,3 juta hektare atau 64 persen dari total daratan Indonesia ditetapkan sebagai kawasan hutan, sementara sisanya merupakan area untuk pengembangan lainnya.
BACA JUGA: Harga TBS Sawit Sumut Periode 5-11 Maret 2025 Turun Rp 32,08 per Kg
Persoalan mendasar dalam isu deforestasi adalah adanya perbedaan persepsi terkait definisi hutan dan deforestasi. Menurut aturan di Indonesia, hutan didefinisikan sebagai lahan dengan luas minimal 0,25 hektare dan tutupan tajuk pohon setidaknya 30 persen. Sementara itu, menurut Organisasi Pangan dan Pertanian PBB (FAO), hutan didefinisikan sebagai lahan lebih dari 0,5 hektare dengan pohon yang lebih tinggi dari 5 meter serta tutupan kanopi lebih dari 10 persen.
FAO juga mendefinisikan deforestasi sebagai konversi kawasan berhutan menjadi penggunaan non-hutan atau penurunan tutupan kanopi di bawah 10 persen. Namun, di Indonesia, deforestasi didefinisikan sebagai kehilangan hutan dalam kelas-kelas tertentu yang ditetapkan oleh pemerintah. Selain itu, FAO memperkenalkan istilah “degradasi hutan” yang mengacu pada perubahan hutan primer atau hutan yang beregenerasi secara alami menjadi hutan tanaman atau lahan berkayu lainnya.
Seiring meningkatnya kekhawatiran global terhadap perubahan iklim dan emisi karbon, persepsi dunia mengenai deforestasi telah berubah drastis. Istilah “degradasi hutan” kini dianggap tidak relevan karena secara otomatis disamakan dengan deforestasi. Akibatnya, ketika Menteri Kehutanan Raja Juli Antoni mengumumkan bahwa pemerintah telah mengidentifikasi 20 juta hektare lahan hutan, termasuk hutan terdegradasi, untuk keperluan pangan dan energi, kebijakan ini pun menuai kontroversi.
BACA JUGA: Harga CPO KPBN Inacom Melonjak 2,28 Persen Pada Rabu (5/3), Harga CPO di Bursa Malaysia Naik
Saat ini, pemahaman umum yang berkembang di kalangan gerakan lingkungan global adalah bahwa hutan harus dilestarikan dan dilindungi tanpa pengecualian. Konsekuensinya, deforestasi yang hanya didefinisikan sebagai hilangnya tutupan kanopi dan lahan berhutan dianggap sebagai tindakan yang sepenuhnya dilarang, tanpa mempertimbangkan tujuan pembangunan maupun status hukum lahan tersebut.
Untuk mengatasi ketidaksepakatan ini, ada tiga langkah prioritas yang dapat ditempuh oleh pemerintah pertama, Redefinisi hutan berdasarkan fungsi ekologis dan legalitas. Pemerintah harus menyelaraskan status hukum dan profil ekologi hutan berdasarkan kajian ilmiah, terutama yang berkaitan dengan fungsi ekologi dan jasa lingkungan. Perlindungan dan konservasi hutan harus ditetapkan melalui penilaian High Conservation Value (HCV) dan High Carbon Stock (HCS). Dengan demikian, kawasan hutan yang memiliki nilai konservasi tinggi dan stok karbon tinggi harus tetap dilindungi, sementara hutan produksi dapat dialihkan untuk pengembangan perkebunan dan pertanian.