InfoSAWIT, JAKARTA – Industri sawit nasional kerap mendapat banyak tantangan, dari persoalan produktivitas rendah, status kepemilikan lahan hingga fluktuasi harga jual. Tahun 2025 yang dirayakan suku Tionghoa sebagai Tahun Ular dengan unsur elemen kayu, akan mendapat energi baru dan potensi berkembang.
Tahun Ular kayu diprediksi akan membawa perubahan siginifikan dalam berbagai aspek kehidupan. Momentum ini, sebagai waktu yang tepat guna melakukan introspeksi, perencanaan strategis dan pengembangan potensi yang dimiliki. Secara bebas, bisa diartikan sebagai waktu yang tepat bagi industri minyak sawit nasional guna melakukan berbagai terobosan baru dalam pengembangan industri hilirnya.
Kendati sudah melakukan mengembangkan biodiesel nasional, sejak tahun 2015 silam melalui program B5 hingga awal Tahun 2025 dengan program B40, keberadaan bisnis minyak sawit masih mengalami sumbatan besar. Pasalnya, keberadaan program biodiesel nasional, hanya dapat dinikmati segelintir orang yang mendapatkan keuntungan.
BACA JUGA: Harga TBS Sawit Kalbar Periode III-Maret 2025 Tertinggi Rp 3.453,29/Kg
Secara hukum ekonomi suplai dan permintaan, keberadaan program Biodiesel mendorong kebutuhan pasokan domestik akan minyak sawit mentah (CPO) yang digunakan sebagai bahan baku biodiesel nasional. Momentum awal Tahun 2025 ini, menjadi awal baru bagi bisnis CPO, yang kian memiliki peluang besar akan bisnis bio energi atau bahan bakar nabati (BBN).
Pengaruhnya jelas akan harga CPO yang biasanya dihadapkan pada ketersediaan stok akhir tahun, menjadi potensi akan kebutuhan awal tahun dari program biodiesel nasional. Alhasil, harga jual CPO dapat tertahan bahkan cenderung naik, merujuk akan kebutuhan program B40 di Tahun 2025 ini.
Keberadaan iklim yang kurang menguntungkan sepanjang tahun 2024 silam, juga turut menekan produksi CPO nasional, alhasil keberadaan pasokan asal indonesia yang terbatas, mendorong kenaikan harga jual CPO di pasar internasional. Bahkan, pada periode Januari silam, harga jual CPO sempat mengungguli harga jual minyak kacang kedelai di pasar Bursa minyak nabati dunia.
BACA JUGA: Solidaridad Field Day di Sanggau, Unjuk Hasil Program Sekolah Lapangan (SL) Untuk Petani Sawit
Harga jual CPO yang terlampau tinggi, tentu saja berdampak besar kepada semua perdagangan minyak nabati lainnya. Lantaran, harga jual CPO terlalu mahal, maka secara perlahan, permintaan pasar dunia kembali turun dan menemukan titik keseimbangan harga baru.
Berdasarkan data Kementerian Perdagangan RI, harga referensi (HR) CPO periode Januari 2025 turun 1,13 persen menjadi US$ 1.059,54 per metrik ton. Sebelumnya pada periode Desember 2024 silam HR CPO ditetapkan sebesar US$ 1.071,67 per metrik ton. Turunnya harga jual CPO, sontak mendorong permintaan pasar dunia akan CPO asal Indonesia.
Persoalan terbesar dari fluktuasi harga jual CPO, bermuara kepada kegunaan CPO di negara tujuan ekspornya. Sebagian besar dari pasar tujuan ekspor CPO, membutuhkannya sebagai bahan baku alternatif dari industri minyak nabatinya. Kendati memiliki bahan baku utama dari pasokan dalam negeri, industri minyak nabati di negara tujuan ekspor CPO, masih membutuhkan pasokan CPO sebagai bahan baku alternatifnya. (*)
Penulis: Pemimpin Redaksi InfoSAWIT/ Ignatius Ery Kurniawan