InfoSAWIT, PONTIANAK – Di tengah ambisi Kalimantan Barat menjadi garda terdepan pembangunan berkelanjutan, dunia perkebunan sawit di provinsi ini ternyata masih menyisakan catatan penting: pemenuhan hak-hak buruh. Hal ini mengemuka dalam siaran Ruang Terbuka RRI Pro 1 Pontianak bertema “Pemenuhan Hak-hak Buruh Wujudkan Perkebunan Sawit Berkelanjutan dan Capaian SDGs.”
Salah satu suara yang lantang disuarakan datang dari Kepala Sekretariat Komnas HAM Kalimantan Barat, Nelly Yusnita. Ia mengungkap, masih banyak pengaduan masuk yang dilaporkan masyarakat, khususnya buruh dan warga terdampak aktivitas perusahaan kelapa sawit.
“Isunya sangat beragam. Mulai dari sengketa lahan agraria hingga pemutusan hubungan kerja sepihak, tidak adanya jaminan kesehatan, lingkungan kerja yang buruk, dan buruh yang tidak tahu bagaimana upah mereka dihitung,” kata Nelly dilansir InfoSAWIT dari laman resmi Komnasham, Selasa (22/4/2025).
BACA JUGA: Di Balik Meja Perundingan, Indonesia dan Uni Eropa Sepakat Percepat Perjanjian Perdagangan CEPA
Tak hanya itu, hak dasar untuk berserikat dan menyampaikan pendapat pun sering kali tak mendapat ruang. Hal ini diperkuat oleh pengamatan lapangan dari Guru Besar Fakultas Pertanian Universitas Tanjungpura, Irjat Sudrajat, yang turut menyampaikan dugaan pelanggaran seperti buruh anak, upah tidak layak, hingga pesangon yang tak kunjung dibayar.
“Ketimpangan antara pemberi kerja dan pekerja masih besar. Ini mengarah pada potensi eksploitasi tenaga kerja,” ujarnya.
Namun, harapan tak sepenuhnya padam. Bayu Sefdiantoro dari Teraju Indonesia menekankan pentingnya membentuk Lembaga Kerja Sama Bipartit (LKS Bipartit) di tingkat perusahaan sebagai sarana menyelesaikan sengketa secara musyawarah. Jika itu tak berhasil, pemerintah melalui Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi siap turun tangan.
“Mediator akan terlibat dalam proses tripartit jika bipartit tidak menghasilkan kesepakatan,” jelas Hermanus, Kepala Dinas Tenaga Kerja dan Transmigrasi Kalbar.
Sementara itu, perwakilan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (GAPKI) Kalbar, Budiono, menyatakan bahwa meskipun tantangan di lapangan nyata, para pengusaha tetap berkomitmen menjalankan regulasi.
“Peraturan sudah jelas. Kami juga tidak ingin ada konflik berkepanjangan karena akan mengganggu keberlangsungan bisnis,” tegasnya.
BACA JUGA: Saatnya Batik Sawit Ramah Lingkungan
Penutup dari Nelly Yusnita kembali mengingatkan, bahwa tanggung jawab melindungi buruh bukan semata di pundak perusahaan, tetapi juga negara.
“Capaian SDGs tidak akan terwujud jika kita menutup mata terhadap hak asasi manusia. Dialog lintas sektor menjadi kebutuhan mendesak,” katanya.
Di balik deru mesin dan luasnya hamparan sawit, suara para buruh menanti untuk didengar. Karena keberlanjutan sejati, bukan hanya soal ekonomi dan lingkungan, tapi juga tentang martabat manusia di dalamnya. (T2)