InfoSAWIT, JAKARTA – Nyatanya perempuan di sektor perkebunan sawit masih menghadapi ketidakadilan, mulai dari upah rendah hingga kekerasan berbasis gender. Temuan Pusat Studi Agraria IPB University menunjukkan lemahnya perlindungan terhadap pekerja perempuan, terutama di kebun swadaya dan kawasan terpencil.
Dalam gelap pagi yang masih enggan beranjak, perempuan-perempuan pekerja di kebun sawit mulai meniti hari. Bukan sekadar rutinitas fisik yang menantang, tapi juga medan sosial yang rumit dan tak jarang menindas. Bayu Eka Yulian dari Pusat Studi Agraria IPB University memotret realitas getir ini dalam kajiannya tentang ketidakadilan gender di sektor sawit, terutama di perkebunan swadaya dan pekerja informal.
“Perempuan di sektor ini bekerja sejak matahari terbit hingga suami mereka pulang—dan tetap tak berhenti,” ujar Bayu. Ia memperlihatkan bagaimana perempuan menghadapi beban ganda, yakni tanggung jawab domestik dan beban kerja fisik yang berat di lapangan. Ironisnya, banyak di antara mereka tak memiliki akses ke kebutuhan dasar seperti toilet, ruang laktasi, atau penitipan anak, padahal lokasi kerja bisa berjarak 3–5 jam dari pusat kota.
BACA JUGA: Mahkamah Agung Batalkan Vonis Lepas Korporasi CPO, Kasus Suap Hakim Jadi Perhatian
Dalam riset yang melibatkan 600 responden di tiga lokasi—Siak di Riau, Asahan di Sumatera Utara, dan Kutai Kartanegara di Kalimantan Timur—terungkap bahwa hanya 23% pekerja perempuan berada dalam status formal. Namun, bahkan dalam sistem formal ini, diskriminasi tetap merajalela. “Upah perempuan lebih rendah dibandingkan laki-laki, meskipun mengerjakan tugas yang sama,” ungkap Bayu.
Lebih mencemaskan lagi, pelecehan seksual dan kekerasan berbasis gender (KBG) masih membayangi. Meski jumlah korban yang mengaku mengalami langsung tak banyak, jenis kekerasan yang teridentifikasi bervariasi, berupa dari komentar seksual, kontak fisik tak diinginkan, hingga kasus pemerkosaan. Dalam konteks kerja yang maskulin, banyak perempuan yang memilih diam. “Mereka bilang, biarlah Tuhan yang membalas,” tutur Bayu, mengutip responden yang merasa tak punya saluran pengaduan.
BACA JUGA: Harga CPO KPBN Inacom Withdraw pada Senin (29/9), Perdagangan CPO di Bursa Malaysia Menguat
Temuan tim peneliti juga mengungkap bahwa sebagian besar kekerasan terjadi pada buruh harian lepas (BHL) dan pekerja informal. Di perkebunan swadaya, relasi kuasa antara mandor dan pekerja menciptakan ruang kekerasan verbal dan psikis yang kerap dianggap “biasa”. “Normalisasi” sentuhan fisik tak diinginkan atau candaan seksual menjadi bukti bahwa bentuk kekerasan non-fisik sering luput dari perhatian. (T2)