InfoSAWIT, JAKARTA – Pada peringatan Hari Tani Nasional yang ke-63, yang jatuh pada tanggal 24 September 2023, Indonesia kembali dihadapkan dengan tantangan serius terkait konflik agraria di sektor perkebunan kelapa sawit. Hari Tani Nasional tidak hanya menjadi momen untuk merayakan jasa para petani, tetapi juga untuk merenungkan esensi dari Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) tahun 1960 yang menjadi dasar dalam mengatur aspek-aspek tentang bumi dan kekayaan alam yang ada di dalamnya. Prinsip bahwa tanah dan kekayaan alam harus dikuasai oleh negara dan digunakan untuk kemakmuran rakyat, sebagaimana tercantum dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945, adalah konstitusi Indonesia yang mengikat.
Sebagai wadah perjuangan bagi para petani, Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS) berkomitmen untuk memastikan pelaksanaan reforma agraria, terutama dalam konteks perkebunan kelapa sawit, benar-benar terwujud.
“Kami mengamati bahwa skema pemberian 20% lahan perkebunan kepada masyarakat pedesaan masih merupakan warisan kolonial yang terus dipertahankan di masa kemerdekaan. Seharusnya, negara harus mengimplementasikan reforma agraria sebagai upaya untuk mengatasi ketidaksetaraan, konflik, dan kemiskinan yang melanda masyarakat pedesaan,” tutur Ketua Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), Sabarudin, dalam keterangannya kepada InfoSAWIT, Senin (25/9/2023).
BACA JUGA: Solidaridad Bersama CPOPC Dorong Rantai Pasok Petani Sawit Bisa Diterima Uni Eropa
Lebih lanjut tutur Sabarudin, konflik terkait alokasi 20% lahan ini kembali mencuat pada sektor perkebunan kelapa sawit. Petani sawit dan masyarakat adat di berbagai wilayah menjadi korban dalam upaya mereka untuk mempertahankan tanah dan memperjuangkan keadilan dalam sistem perkebunan kelapa sawit. Konflik ini muncul karena perusahaan-perusahaan sering kali tidak mematuhi kewajiban mereka untuk mengembangkan 20% lahan bagi masyarakat, koperasi plasma terjebak dalam hutang yang besar, dan pendapatan petani terkikis oleh skema kemitraan yang tidak adil.
Baru-baru ini, bahkan tersebar aksi kekerasan terjadi di berbagai wilayah seperti Kabupaten Seruyan, Kabupaten Kotawaringin Barat, dan Sumatera Barat, serta banyak wilayah lain yang mungkin tidak terekspos dalam pemberitaan.
“Ketidakmampuan dalam menangani konflik, penegakan hukum yang lemah, dan ketidakberpihakan pemerintah kepada petani sawit dan masyarakat adat adalah faktor utama yang membuat konflik ini berlarut-larut tanpa penyelesaian yang memadai. Pemerintah tampaknya kekurangan konsep keadilan dalam sistem perkebunan kelapa sawit,” kata Sabarudin.
BACA JUGA: Ada Ketidakpastian Hukum dalam Penyelesaian Kebun Sawit di Kawasan Hutan
Selain itu, SPKS juga mengkritisi upaya pemerintah untuk mengubah ketentuan UU perkebunan melalui UU Cipta Kerja dan regulasi terkait. Langkah ini justru dinilai menghambat upaya petani untuk mewujudkan pembangunan lahan 20% untuk masyarakat. Upaya penyelesaian masalah penguasaan tanah di kawasan hutan juga dianggap diskriminatif dan sulit dioperasikan.