InfoSAWIT, KUALA LUMPUR – Kementerian Perkebunan dan Komoditas Malaysia, Kementerian Koordinator Urusan Ekonomi Republik Indonesia, dan Dewan Negara-negara Penghasil Minyak Sawit (CPOPC) mengadakan misi diplomatik ke Brussels, Belgia, pada 30-31 Mei 2023. Delegasi ini dipimpin oleh Wakil Perdana Menteri Malaysia Dato’ Sri Haji Fadillah bin Haji Yusof dan Menteri Koordinator Urusan Ekonomi Indonesia, Airlangga Hartarto.
Kunjungan ini merupakan tindak lanjut dari pertemuan bilateral CPOPC di Jakarta pada 9 Februari 2023, dengan tujuan utama menyuarakan keprihatinan Indonesia dan Malaysia terkait Peraturan Deforestasi UE (EUDR) yang baru diberlakukan.
Indonesia dan Malaysia menilai bahwa EUDR bersifat diskriminatif dan berpotensi mengganggu perdagangan internasional serta menghambat komitmen industri sawit dalam mencapai Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) 2030. Kedua negara mendesak agar UE menerapkan prinsip transparansi dan nondiskriminasi dalam aturan perdagangan, sejalan dengan aturan Organisasi Perdagangan Dunia (WTO). “EUDR seharusnya tidak menciptakan distorsi perdagangan atau memperlakukan produk secara diskriminatif,” ungkap Airlangga Hartarto dalam keterangan resmi dikutip InfoSAWIT, Selasa (5/11/2024). Mereka menekankan bahwa regulasi baru harus dicapai melalui pendekatan yang seimbang, inklusif, dan tidak menghambat perdagangan.
Selama di Brussels, delegasi Indonesia dan Malaysia bertemu dengan sejumlah pejabat tinggi Uni Eropa, termasuk Frans Timmermans, EVP European Green Deal; Josep Borrell-Fontelles, Komisaris Kebijakan Luar Negeri UE; Virginijus Sinkevičius, Komisaris Lingkungan; dan beberapa anggota Parlemen Eropa, seperti Heidi Hautala dan Bernd Lange. Para pemimpin Indonesia dan Malaysia menekankan dampak EUDR terhadap rantai pasokan sawit dan mendesak keterlibatan konsultatif antara UE dan negara produsen untuk implementasi yang berkeadilan.
Isu-isu penting yang diangkat mencakup partisipasi petani kecil dalam rantai pasokan, penerimaan sertifikasi berkelanjutan nasional, dan kebutuhan akan transparansi dalam sistem pembandingan risiko UE yang mengklasifikasikan negara berdasarkan risiko deforestasi. Indonesia dan Malaysia menyoroti bahwa label “berisiko tinggi” atau “berisiko rendah” akan berdampak pada kedaulatan dan citra negara yang bersangkutan, dan mereka mendesak UE untuk mengakui kedua negara sebagai berisiko rendah.
Selama kunjungan, delegasi juga bertemu dengan pemangku kepentingan kelapa sawit, perwakilan industri, dan organisasi masyarakat sipil di Eropa. Dialog ini bertujuan memberi pemahaman yang lebih mendalam mengenai maksud kunjungan dan hasil pertemuan dengan para pemimpin UE, sekaligus membuka jalan bagi kemitraan yang lebih kuat di masa depan.
BACA JUGA: Kemenhut dan BPKP Perketat Langkah Hukum Terhadap Kebun Sawit Ilegal di Kawasan Hutan
Walaupun hasil langsung dari pertemuan ini belum dapat dipastikan, misi tersebut dinilai berhasil dalam mengirimkan pesan kuat kepada UE terkait pentingnya menghormati dan melibatkan negara-negara produsen minyak sawit dalam perumusan kebijakan yang berdampak global. “Kami berharap untuk menindaklanjuti berbagai poin penting yang telah diangkat selama kunjungan ini,” kata Airlangga Hartarto. (T2)