InfoSAWIT, JAKARTA – Stok minyak nabati dunia tengah mengalami tekanan. Dalam dua tahun terakhir, penurunannya begitu tajam sehingga memicu reaksi cepat dari pasar global. Minyak sawit, sebagai minyak nabati utama yang paling banyak digunakan di dunia, menjadi komoditas yang paling terpengaruh. Harganya berfluktuasi drastis dalam empat tahun terakhir, dari US$ 530 per metrik ton pada Mei 2020 hingga melonjak ke level tertinggi US$ 1.900 pada Maret 2022. Kini, pasar mencoba menakar, apakah harga minyak sawit akan stabil di kisaran US$ 900–1.100, atau bahkan lebih tinggi?
Di saat yang bersamaan, tensi geopolitik dunia ikut memperkeruh situasi. Pemerintahan Donald Trump telah memicu babak baru perang tarif, disambut dengan respons keras dari Tiongkok. Meskipun Amerika Serikat bukan pasar utama bagi ekspor sawit Indonesia, efek domino dari ketidakpastian global itu tetap terasa. Pasar dunia menjadi tidak stabil, dan arah masa depan minyak sawit pun ikut dipertanyakan.
Ekspor minyak sawit dunia pun menunjukkan tren menurun, dari puncaknya 55,4 juta ton pada 2019/2020 menjadi hanya 48,6 juta ton pada 2023/2024. Indonesia dan Malaysia, sebagai dua raksasa produsen minyak sawit, sama-sama mencatat penurunan ekspor signifikan. Indonesia misalnya, hanya mengekspor 24 juta ton pada 2024, turun jauh dari 30,1 juta ton lima tahun sebelumnya.
Minimnya peremajaan kebun dan kekurangan tenaga kerja menjadi faktor penghambat utama. Di Malaysia, hanya 114 ribu hektare sawit yang diremajakan pada 2024, padahal sekitar 1,5 juta hektare telah melewati usia produktif. Ketergantungan terhadap tenaga kerja manual, yang belum tergantikan oleh mekanisasi seperti pada kedelai atau bunga matahari, menambah kompleksitas persoalan.
Isu strategis inilah yang kami angkat dalam Rubrik Fokus edisi April 2025. Kami mengajak pembaca menyelami lebih dalam kondisi terkini industri minyak sawit, tantangannya, dan ke mana arahnya akan bermuara.
Selain itu, kami juga mengupas pentingnya transformasi digital dan pengembangan sumber daya manusia (SDM) dalam menghadapi era globalisasi. Generasi milenial dan Gen Z dituntut untuk mampu beradaptasi dengan cepat agar tetap relevan di dunia kerja yang terus berubah. Pandemi menjadi katalis perubahan, mempercepat transisi digital dan memperlihatkan pentingnya membangun kompetensi diri yang kuat.
Tanpa SDM yang unggul, Indonesia akan sulit bersaing di pasar global. Padahal, kita sedang berada di tengah bonus demografi yang langka. Jika tidak dimanfaatkan dengan tepat, bonus ini justru bisa menjadi bumerang berupa meningkatnya angka pengangguran. Untuk itu, isu ini kami sajikan secara mendalam dalam Rubrik Teropong April 2025. (T2)