InfoSAWIT, JAKARTA – The devil is in the detail — pepatah ini rasanya tepat menggambarkan situasi kebijakan pangan kita hari ini. Perubahan kecil dalam sistem, jika tidak diperhatikan secara mendalam, justru bisa menimbulkan persoalan besar. Langkah Badan Pangan Nasional (Bapanas) menghapus rafaksi harga gabah di tingkat petani melalui Keputusan Kepala Bapanas No. 14/2025 kini mulai menunjukkan dampaknya.
Peraturan baru ini menggantikan Keputusan Kepala Bapanas No. 2/2025 yang sebelumnya membagi harga gabah ke dalam beberapa kelas berdasarkan kadar air dan kualitas. Namun yang menggelitik, jarak antara dua kebijakan itu hanya sembilan hari. Terlalu singkat untuk sebuah kebijakan strategis yang menyangkut urusan hidup jutaan petani dan ketahanan pangan nasional.
Beras adalah makanan pokok mayoritas rakyat Indonesia, dan kebijakan terkait gabah bukanlah hal remeh. Perubahan yang tergesa-gesa seolah menunjukkan bahwa pemerintah belum sepenuhnya matang dalam menyiapkan desain kebijakan pangan yang berkelanjutan.
BACA JUGA: Menjembatani Sawit dan Diplomasi, Pertemuan Strategis PT Agrinas dan Wamenlu Havas
Pisau Bermata Dua di Tingkat Petani
Penghapusan rafaksi harga gabah memang di satu sisi diharapkan dapat meningkatkan kesejahteraan petani lewat harga jual yang lebih tinggi. Namun, di sisi lain, langkah ini juga menghadirkan dilema baru. Ketika kualitas gabah tidak seragam, para pengepul dan penggilingan padi justru kesulitan memproses gabah lebih lanjut.
Gabah dengan kadar air tinggi membutuhkan proses pengeringan tambahan (drying), yang tentu menambah biaya produksi. Di sinilah “pisau bermata dua” itu bekerja — kebijakan yang dimaksudkan untuk menolong petani, bisa jadi justru menekan rantai berikutnya dalam industri perberasan.
Surplus yang Menjadi Sinyal Bahaya
Data Badan Pusat Statistik (BPS) hingga Juni 2025 mencatat Indonesia mengalami surplus beras sekitar 3,3 juta ton. Produksi beras mencapai 18,75 juta ton, sementara konsumsi hanya 15,43 juta ton. Sekilas, capaian ini tampak menggembirakan — seolah menjadi bukti keberhasilan pemerintah menjaga swasembada pangan.
BACA JUGA: REA Kaltim Bangun Kemitraan Sawit Inklusif di Kutai Kartanegara
Namun, di balik angka surplus itu tersembunyi sinyal peringatan. Hukum dasar ekonomi tetap berlaku: ketika pasokan melimpah tanpa diimbangi permintaan, harga akan turun. Petani, sebagai pelaku paling lemah dalam rantai nilai, kembali menjadi korban.
Kita pernah melihatnya pada 2018. Saat panen raya melimpah, harga gabah anjlok hingga 20 persen. Petani yang sudah mengeluarkan biaya besar, harus menanggung rugi. Sejarah yang sama tampaknya berulang.