InfoSAWIT, JAKARTA – Merujuk catatan BMKG, suhu rata-rata berada pada 34-36 derajat celcius. Untuk musim kering ini, BMKG memperkirakan bahwa bulan-bulan yang mengalami puncak atau suhu maksimum yakni jatuh pada April sampai Juni, bahkan beberapa sumber mengatakan sampai bulan Agustus 2023.
Kondisi ekstrim seperti ini akan mempengaruhi aktivitas agronomis, paska panen dan produktivitas, baik tanaman pangan, hortikultura dan beberapa jenis tanaman perkebunan. Menanggapi informasi dari BMKG tersebut, Ketua Umum DPP Asosiasi Petani Kelapa Sawit Indonesia (Apkasindo), Gulat ME Manurung mengatakan, naiknya suhu seperti saat ini tidak akan berdampak langsung kepada tanaman kelapa sawit.
Hanya saja dalam menghadapi cuaca ekstrim panas tersebut, terdapat dua aktivitas agronomis yang perlu ditunda, yakni kegiatan pruning, lantaran sekalipun pelepah sudah tidak produktif, namun masih berfungsi “meneduhkan” iklim mikro tanaman.
Untuk pengendalian gulma secara kimia sebaik nya juga ditunda karena dengan menyemprotkan herbisida akan mengakibatkan hilangnya penutup tanah alami dan panas matahari akan langsung mengenai permukaan tanah. Tentu hal ini akan meningkatkan pelepasan air secara bersamaan atau evapotranspirasi (pelepasan atau penguapan air secara bersamaan dari tanah dan jaringan tanaman).
Bahkan kedua kegiatan agronomis tersebut yaitu pengendalian gulma secara kimia dan pruning erat berhubungan dengan kebakaran lahan.
Kata Gulat, karena ouput dari kedua kegiatan agronomis ini adalah bahan yang sangat mudah terbakar dan bisa menjadi pemicu kebakaran lahan dan hutan, baik di lahan Podsolik maupun ditanah gambut atau jenis tanah lainnya.
BACA JUGA: Regulasi Deforestasi UE (EUDR) Diadopsi, Lantas Apa Selanjutnya?
“Tidak ada pilihan selain hentikan kegiatan aktifitas agronomis pengendalian gulma secara kimia dan pruning untuk mengurangi potensi kebakaran lahan, termasuk aplikasi pupuk, lantaran tidak efisien serta dampak fisiologis perakaran akibat panas sebagai reaksi pupuk,” katanya kepada InfoSAWIT, Jumat (28/4/2023).