InfoSAWIT, JAKARTA – Sejak tahun 2011, Pemerintah Indonesia telah menetapkan kebijakan terkait pembangunan perkebunan berkelanjutan. Kebijakan-kebijakan itu antara lain melalui Peraturan Menteri Pertanian (Permentan) nomor 19 tahun 2011 tentang Pedoman Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia. Tahun 2015, pedoman ini mengalami perubahan nomenklatur melalui Permentan nomor 11 tahun 2015 tentang Sistem Sertifikasi Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (Indonesian Sustainable Palm Oil Certification System /ISPO). Komitmen ini kembali diperkuat dengan diterbitkannya Peraturan Presiden (Perpres) No. 44 Tahun 2020 tentang Sistem Sertifikasi Perkebunan Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia serta Permentan No. 38 Tahun 2020 tentang Penyelenggara ISPO.
Selama hampir 13 tahun, ISPO didorong untuk diterapkan kepada pelaku usaha budidaya perkebunan kelapa sawit, termasuk petani swadaya. Namun ketercapaian sertifikasi ISPO oleh petani masih sangat kecil, yaitu baru 81 sertifikat dengan luasan 60.235,58 hektare, dari penguasaan lahan oleh petani seluas 6,94 juta.
Selain mendorong penerapan sistem budidaya kelapa sawit berkelanjutan, Sertifikasi ISPO sejatinya bagian integral dari upaya perlindungan dan pemberdayaan petani, sehingga Pemerintah/Pemerintah Daerah memiliki kewajiban dan tanggung jawab guna menjamin akses petani sawit memperoleh sertifikasi ISPO melalui pendampingan, penyuluhan, pendidikan, dan pelatihan serta kemudahan akses keuangan, akses pemasaran hasil dan akses informasi.
BACA JUGA: Harga CPO KPBN Inacom Naik 1,37 Persen Pada Rabu (3/4), Begitupun di Bursa Malaysia
Terlebih tipologi petani kelapa sawit yang beragam, menjadi variabel yang dinegasikan dalam regulasi maupun kelembagaan sertifikasi ISPO, sehingga cenderung sulit untuk diakses dan penyebab lambannya target ketercapaian ISPO.
Padahal keragaman tersebut memerlukan perlindungan dan pemberdayaan yang sesuai dengan karakteristiknya masing-masing. Karena itu, penting mengetahui tipologi faktual petani sawit di Indonesia yang memiliki beberapa karakteristik seperti petani sawit tradisional dari tradisi berkebun karet/ berladang beralih ke kebun sawit; petani kurang dari 25 ha namun memiliki akses ke pabrik dengan mempekerjakan buruh skala kecil ataupun besar dan bahkan lebih dari 25 ha namun tidak tergolong perusahaan, sebagian tidak tinggal di pedesaan/sekitar kebun; petani yang tidak memiliki perencanaan pembangunan kebun alias dibangun secara sporadis tergantung modal yang dimiliki. Mereka tidak berkelompok, SDM rendah, tidak terpantau tahun tanam, tidak terdata luas lahan, dan tidak memiliki legalitas.
Sebab itu, SPKS menilai bahwa ada keragaman di tingkat para petani kelapa sawit dan karena itu sistem sertifikasi ISPO perlu beradaptasi dengan keragaman para petani kelapa sawit. Karena itu, peraturan ataupun standar sertifikasi harus dirubah sesuai dengan tingkat kesenjangan di tingkat petani kelapa sawit.
Sertifikasi Untuk Semua
13 tahun pelaksanaan ISPO di Indonesia baru mencapai 0,3% sertifikasi bagi petani kelapa sawit. padahal sebenarnya tahun 2025, mesti sudah hampir 100% karena terdapat target pemerintah bahwa pada tahun tersebut sistem itu bersifat wajib. Karena itu perlu ada gerakan yang masif dan inovatif dengan menerapkan sistem sertifikasi skala besar dengan pendekatan kewilayahan. Menurut SPKS, hanya dengan pendekatan ini akan mempercepat sistem sertifikasi di Indonesia khususnya petani skala kecil.
BACA JUGA: Penerimaan Beasiswa Sawit Dibuka 5 April-24 Mei 2024 Dengan Kuota 3000 Orang
Sistem sertifikasi saat ini belum mampu menjawab tantangan di tingkat petani kelapa sawit khususnya untuk petani yang belum berkelompok yang berjumlah sangat besar sekitar 70% dari total 6,9 juta ha luas kebun petani. SPKS menilai, bahwa untuk menyelesaikan ini adalah kelembagaan di tingkat wilayah seperti pemerintah daerah. Pemda yang memiliki akses untuk mengelola dana bagi hasil serta dana BPDP-KS, memiliki akses ke pemerintah pusat dan memiliki infrastruktur birokrasi dan politik yang lengkapi dianggap memiliki kecocokan untuk menggerakkan sertifikasi ISPO di tingkat petani kecil. Dengan pendekatan kewilayahan/ pendekatan Yurisdiksi akan menghasilkan jumlah petani yang lebih besar.