Direktur CGS, Profesor Lawrence Loh menyatakan, seharusnya semua pihak berbuat lebih banyak untuk menunjukkan bahwa keberlanjutan dan profitabilitas tidak berdiri sendiri-sendiri. “Sebab halini memerlukan upaya kolaboratif dari pemerintah, perusahaan kelapa sawit, dan khususnya para investor yang berperan penting dalam mendorong perubahan menuju praktik yang lebih berkelanjutan,” katanya dikutip InfoSAWIT dari Business Times.
Untuk mendorong penerapan ESG sebagai metrik, perusahaan dapat melakukan upaya yang lebih besar untuk mengkomunikasikan dan mendidik pemangku kepentingan mengenai upaya ESG mereka dan mengatasi kekhawatiran yang muncul.
“Dengan melakukan hal ini, mereka dapat menunjukkan komitmen mereka terhadap keberlanjutan, meningkatkan reputasi sektor ini, dan memulihkan kepercayaan investor,” tambah Profesor Lawrence.
BACA JUGA: Indonesia Peroleh 127 Hektar Lahan Sawit dari Malaysia Akibat Kesepakatan Perbatasan
Pemerintah dari negara-negara produsen dan pengimpor minyak sawit dapat memperkuat undang-undang dan kebijakan untuk memberikan insentif kepada perusahaan agar berinovasi dan menerapkan praktik keberlanjutan.
NUS mencatat bahwa sebagian besar (31 dari 36) perusahaan minyak sawit terdaftar yang terlibat dalam studi ini beroperasi di Malaysia dan Indonesia, yang merupakan pasar utama produksi minyak sawit. Berinvestasi pada teknologi untuk membantu perusahaan meningkatkan pelaporan ESG, khususnya bagi perusahaan kecil yang kekurangan sumber daya, juga dapat mendorong persepsi positif investor terhadap inisiatif keberlanjutan di sektor ini. (T2)