InfoSAWIT, JAKARTA – Presiden terpilih Prabowo Subianto menegaskan komitmennya untuk mengolah sumber daya alam Indonesia yang melimpah menjadi produk dengan nilai tambah lebih tinggi untuk konsumsi dalam negeri dan ekspor, dan salah satu sumber daya alam yang sering disebutnya sebagai komoditas paling menjanjikan adalah minyak sawit.
Komitmen tersebut tidak hanya paling tepat namun juga strategis dalam jangka panjang.
Pertama, karena kelapa sawit merupakan komoditas terbarukan, berbeda dengan batu bara yang saat ini menjadi ekspor terbesar kedua, serta mineral lain yang tidak terbarukan dan proses produksinya menimbulkan polusi. Industri ini secara langsung mempekerjakan sekitar 17 juta pekerja dan melibatkan lebih dari lima juta petani kecil.
Kedua, minyak sawit, dengan ekspor tahunan sebesar US$30 miliar, telah menyumbang 12 persen dari total ekspor non-minyak dan empat persen dari produk domestik bruto negara. Minyak sawit akan terus memainkan peran yang semakin penting dalam perekonomian karena produksi komoditas ini relatif murah. Komoditas ini juga sangat serbaguna dan memenuhi 40 persen permintaan minyak nabati global, namun hanya menggunakan kurang dari 6 persen lahan yang ditanami secara global untuk memproduksi minyak nabati.
BACA JUGA: Indonesia Peroleh 127 Hektar Lahan Sawit dari Malaysia Akibat Kesepakatan Perbatasan
Namun, kita tidak akan pernah bisa mengembangkan secara maksimal potensi komoditas ini untuk memberdayakan perekonomian nasional jika pemerintah tidak memperbaiki tata kelola seluruh rantai nilai industri kelapa sawit.
Kita masih mengingat dengan sedih dampak yang ditimbulkan oleh serangkaian tindakan intervensi pasar minyak sawit yang tidak menentu yang diluncurkan pada semester pertama tahun 2022 seperti penetapan batas atas harga, kewajiban pasar dalam negeri (domestik market bond/DMO), dan bahkan larangan total ekspor minyak sawit untuk mengatasi meroketnya harga minyak sawit. minyak goreng. Bencana minyak goreng yang terjadi bahkan ketika Indonesia telah menjadi produsen minyak sawit terbesar di dunia menegaskan sangat kurangnya kerja sama dan koordinasi di dalam pemerintah.
Pengalaman pahit krisis minyak goreng pada tahun 2022 menegaskan kembali pentingnya sebuah badan pengatur yang berwenang untuk mengelola dan mengawasi seluruh industri minyak sawit, terutama karena perluasan penggunaannya sebagai bahan baku pangan dan biofuel untuk mengatasi krisis minyak goreng. perubahan iklim. Mengelola persaingan antara permintaan pangan dan biofuel serta industri yang melibatkan lebih dari 16 juta hektar perkebunan yang dimiliki oleh ratusan perusahaan dan sekitar 5 juta petani kecil kelapa sawit memerlukan koordinasi kebijakan yang efektif.
BACA JUGA: Pangan Diantara Sela Sawit
Jika Prabowo, yang akan mengambil alih kekuasaan pada bulan Oktober, benar-benar serius dengan komitmennya untuk mengembangkan lebih lanjut industri kelapa sawit, maka ia harus meninjau ulang semua kebijakan dan lembaga yang secara langsung atau tidak langsung mengatur dan mengelola komoditas tersebut.
Tantangan utamanya adalah saat ini terdapat setidaknya delapan kementerian dan puluhan lembaga lain yang secara langsung atau tidak langsung mengelola dan mengawasi industri kelapa sawit. Kementerian yang mengatur langsung perindustrian antara lain kementerian perekonomian, pertanian, perindustrian, kehutanan dan lingkungan hidup, pertanahan dan tata ruang, perdagangan, investasi, serta energi dan sumber daya mineral.