InfoSAWIT, JAKARAT – Pesta demokrasi yang telah usai dilakukan bangsa Indonesia, menghasilkan pemimpin nasional baru yang akan dilantik Oktober 2024 nantinya. Keterpilihan para wakil rakyat, juga menjadi bagian dari ajang Pemilihan Umum (Pemilu) yang berlangsung tiap lima tahunan sekali.
Media InfoSAWIT mengucapkan selamat atas terpilihnya Presiden Prabowo Subianto dan Wakil Presiden Gibran Rakabuming Raka, atas keputusan Komisi Pemilihan Umum (KPU), sebagai Presiden dan Wakil Presiden Periode 2024-2029. Usai pesta demokrasi Pemilu 2024 ini, banyak pekerjaan rumah yang harus dikerjakan kembali, khususnya bagi pengelolaan minyak sawit berkelanjutan. Keberadaan industri minyak sawit berkelanjutan dari hulu hingga hilir, memiliki banyak persoalan hingga berbagai kemelut yang tiada henti terjadi.
Berbagai rintangan bagi bisnis minyak sawit berkelanjutan tersebut, tentu menjadi bagian dari pendewasaan bisnis minyak sawit yang sudah 113 tahun dikelola secara komersil di Indonesia. Paska iklim El Nino yang menyebabkan musim kemarau berkepanjangan di Tahun 2023 silam, kini akan berubah menjadi iklim La Nina di Tahun 2024.
BACA JUGA: Sertifikasi ISPO Bagi Petani Berkelanjutan
Kemelut iklim 2024 ini, tentunya akan berbeda dengan persoalan yang terjadi di tahun 2023 silam. Tantangan iklim La Nina menurut Badan Meteorologi dan Geofisika (BMG) berasal dari curah hujan yang tinggi. Fenomena La Nina akan menyebabkan peningkatan curah hujan di berbagai wilayah Indonesia, sehingga menyebabkan banjir dan tanah longsor. Secara umum, ketika La Nina terjadi di Indonesia, maka peningkatan curah hujan akan memicu resiko banjir yang lebih tinggi. Di sisi lain, suhu udara akan lebih rendah di siang hari dan lebih banyak terjadi badai tropis. Selanjutnya, perubahan curah hujan yang meningkat, juga akan terjadi di wilayah Pasifik barat dan Australia. Sebaliknya, pantai barat Amerika Selatan akan mengalami kondisi kekeringan.
Di sisi lain, pertumbuhan tanaman kelapa sawit yang dipengaruhi ketersediaan air, menurut Pusat Penelitian Kelapa Sawit (PPKS), dapat tumbuh subur dengan baik di daerah tropika basah, posisinya terletak pada 120 Lintang Utara (LU) – 120 Lintang Selatan (LS) di Indonesia. Merujuk Schmidth-Ferguson, tanaman kelapa sawit dapat tumbuh subur dengan tipe iklim A, B, C, dimana elevasi areal 0 – 600 meter (m) dibawah permukaan laut (dpl).
Bagaimana dengan tanaman kelapa sawit?
Merujuk klasifikasi iklim Schmidt-Ferguson, maka ketinggian lahan perkebunan yang baik direntang 0-600 mdpl, maka ketinggian lahan perkebunan kelapa sawit yang baik berkisar 0-400 mdpl, karena pada ketinggian tersebut, menurut PPKS diperkirakan bakal menyebabkan temperatur udara berkisar 27-32 derajat Celcius. Kondisi temperatur udara tersebut, tergolong baik bagi pertumbuhan tanaman kelapa sawit.
BACA JUGA: Saat Keberlanjutan Ditanyakan Uni Eropa, Mampukah Sertifikasi Sawit Berkelanjutan Jadi Jawabannya?
Tentunya dengan kualitas lahan terbaik bagi perkebunan kelapa sawit, maka kebutuhan nutrisi tanaman juga akan cenderung lebih efisien. Hasil produktivitas panen yang dicapai, juga cenderung akan lebih besar dan menguntungkan. Disinilah, peranan praktik bidudaya berkelanjutan menjadi bagian penting, bagi pertumbuhan kelapa sawit di perkebunan kelapa sawit.