InfoSAWIT, BEIJING — China akan meningkatkan penanaman jagung hasil rekayasa genetika (genetically modified/GM) hingga empat hingga lima kali lipat tahun ini dibandingkan 2024, menandai percepatan peluncuran teknologi pertanian biotek yang selama ini tersendat oleh regulasi ketat pemerintah, skeptisisme publik, dan hasil uji coba yang bervariasi.
Setelah bertahun-tahun bersikap hati-hati, dalam dua tahun terakhir pemerintah China mulai mempercepat persetujuan terhadap berbagai varietas benih GM, yang dianggap sebagai solusi untuk meningkatkan ketahanan pangan nasional. Langkah ini dilakukan di tengah ketergantungan tinggi terhadap impor jagung dan kedelai, terutama dari Brasil dan Amerika Serikat.
Menurut CITICS Research dan tiga sumber dari industri benih yang enggan disebutkan namanya karena sensitifnya isu ini di China, luas lahan jagung GM diperkirakan akan meningkat dari sekitar 10 juta mu (670.000 hektare) tahun lalu menjadi antara 40 hingga 50 juta mu (sekitar 3,3 juta hektare) pada 2025.
BACA JUGA: Harga Gandum Chicago Melemah karena Prakiraan Cuaca Membaik, Jagung Naik Tipis dan Kedelai Turun
Meski demikian, angka tersebut baru mencakup sekitar 7% dari total lahan jagung China — jauh di bawah Amerika Serikat dan Brasil, yang telah menanam jagung GM di lebih dari 90% lahannya.
Menurut para analis, lonjakan penanaman ini dapat mengurangi ketergantungan China terhadap impor jagung, yang tahun lalu mencapai lebih dari 100 juta ton — sebagian besar GM — untuk kebutuhan pakan ternak. Sebagai catatan, AS menyuplai sekitar 15% dari total impor jagung China tahun lalu.
Namun, keberhasilan adopsi GM masih bergantung pada dua faktor utama: bukti nyata peningkatan hasil panen dan efisiensi biaya bagi petani, serta kemampuan pemerintah untuk menjembatani resistensi publik terhadap teknologi tersebut. “Jika perusahaan benih gagal meningkatkan performa agronomis di lapangan, strategi GM China bisa kehilangan kredibilitas dan memperpanjang waktu adopsi,” kata Matthew Nicol, analis senior di China Policy dilansir Reuters.
BACA JUGA: PTPN Tanam Pohon Bersama BAKN DPR RI, Dukung Masa Depan Hijau Lewat Program 1 Juta Pohon
Sejumlah uji coba GM di tahun 2022–2023 justru menunjukkan hasil yang mengecewakan. Beberapa wilayah mengalami penurunan hasil panen sebesar 10–20%, diduga akibat benih yang tidak cocok dengan kondisi lokal atau dikomersialkan terlalu cepat tanpa proses penyilangan ulang (backcross breeding) yang memadai.
Meskipun hasil uji coba tersebut belum dipublikasikan secara resmi, kegagalan ini telah memunculkan kembali keraguan di kalangan petani. Beberapa di antaranya bahkan memilih menggunakan benih GM ilegal atau kembali ke benih hibrida konvensional.
Pemerintah pun mengambil langkah tegas. Kementerian Pertanian China baru-baru ini meminta otoritas di daerah untuk menindak praktik produksi dan penjualan benih GM ilegal, yang semakin marak terutama di wilayah timur laut.
Di sisi lain, analis dari Trivium China, Even Rogers Pay, menyebut bahwa saat GM mulai ditanam secara besar-besaran, hasil panen mungkin menurun sementara waktu karena petani belum terbiasa dengan varietas baru. “Namun, jika varietas baru terus menunjukkan keunggulan, perluasan lahan kemungkinan akan terus berlanjut. Proses ini sulit untuk dibalik,” ujarnya.
Dengan potensi peningkatan hasil antara 6–13% jika varietas GM dioptimalkan dengan baik, strategi ini bisa menjadi titik balik dalam transformasi pertanian China, sekaligus mengurangi ketergantungan terhadap pasar ekspor global. (T2)