InfoSAWIT, JAKARTA – Perubahan iklim telah menjadi krisis global yang tidak dapat diabaikan. Sekretaris Jenderal PBB menyatakan bahwa dunia kini telah memasuki era pemanasan global, dan dampaknya telah terasa nyata di Indonesia. Negara ini mengalami peningkatan frekuensi dan intensitas bencana alam seperti banjir, topan, badai, gelombang tinggi, kekeringan, serta perburukan kebakaran hutan yang melibas satu juta hektar lahan pada tahun 2023. Dampaknya melibatkan gagal panen, penyebaran penyakit, kerusakan terumbu karang, dan bahkan hilangnya pulau dan daerah tertentu di Indonesia.
Sebagai negara kepulauan di wilayah tropis, Indonesia menjadi salah satu yang paling rentan terhadap dampak krisis iklim di dunia, seperti yang diindikasikan oleh Bank Dunia pada tahun 2021. Diperkirakan bahwa jika krisis iklim terus memburuk, PDB Indonesia dapat tergerus hingga 7% pada tahun 2100. Menariknya, kelompok masyarakat yang paling sedikit berkontribusi pada krisis iklim justru akan menanggung dampak terberat, sesuai dengan Laporan Sintesis IPCC AR6.
“Untuk menghindari bahaya krisis iklim, aksi segera diperlukan, terutama dalam dekade ini (2020-2030). Tindakan yang diambil selama periode ini akan membentuk masa depan Bumi dan segala isinya selama ribuan tahun ke depan,” demikian keterangan resmi diterima InfoSAWIT, Sabtu (2/12/2023).
BACA JUGA: Jokowi Minta Norwegia Berikan Pandangan Berimbang Terkait Kebijakan EUDR
Aksi ini tidak hanya perlu mengurangi emisi gas rumah kaca (mitigasi), tetapi juga harus meningkatkan kemampuan masyarakat untuk bertahan di tengah krisis iklim (adaptasi) dan mengatasi kerugian yang terjadi (loss & damage). Selain itu, aksi iklim harus adil, mencoba menghilangkan ketidakadilan ekologis, sosial-ekonomi, dan politik yang terjadi saat ini serta mencegah timbulnya ketidakadilan baru akibat aksi iklim itu sendiri.
Namun, meskipun perlunya aksi iklim yang mendesak, komitmen dan tindakan global masih jauh dari mencukupi. Global Stocktake pertama yang dikeluarkan UNFCCC pada September 2023 menemukan bahwa emisi global masih terus meningkat, pendanaan dari negara maju belum mencapai target, dan dukungan untuk adaptasi masih jauh dari memadai (WRI, 2023).
Oleh karena itu, dalam momentum Konferensi PBB tentang Perubahan Iklim ke-28 (COP28) yang berlangsung pada 30 November hingga 12 Desember, masyarakat sipil Indonesia menyerukan kepada pemerintah Indonesia dan dunia untuk mengambil komitmen politik dan mandat yang tegas guna meningkatkan aksi iklim secara adil dan berkeadilan.
BACA JUGA: Jokowi: Indonesia Komit Nol Emisi Karbon untuk Masa Depan Berkelanjutan
Berikut adalah 7 hal yang menjadi tuntutan masyarakat sipil Indonesia untuk menjadi hasil dari COP28, pertama, COP28 harus menyepakati target dana yang dibutuhkan untuk mengatasi kerugian akibat krisis iklim (Loss & Damage). Negara maju harus memberikan pendanaan yang adil, memadai, dan baru sesuai prinsip Common But Differentiated Responsibility (CBDR). Mekanisme pendanaan harus sederhana dan dapat diakses dengan fokus pada rekonstruksi, restorasi, dan rehabilitasi.