InfoSAWIT, JAKARTA – Kabar kemenangan Indonesia di WTO terkait sengketa penerapan kebijakan Biodiesel di Uni Eropa yang dianggap diskriminatif, menjadi angin segar bagi industri, bila tidak ada sanggahan maka akan bersifat final. Sedianya momen ini bisa sekaligus menjadi pemicu bagi penerapan Sawit Berkelanjutan, yang telah menjadi komitmen pemerintah Indonesia.
Pemerintah Indonesia melalui Menteri Perdagangan baru saja mengumumkan kemenangan Indonesia atas sengketa yang diajukan Indonesia terhadap Uni Eropa di World Trade Organization (WTO). Menurut tahapan penyelesaian sengketa WTO, jika laporan panel WTO tidak ada keberatatan atau banding dari para pihak yang bersengketa dalam kurun waktu 20 hingga 60 hari setelah laporan Panel WTO diedarkan kepada anggota WTO, maka laporan panel yang menguntungkan Indonesia ini akan bersifat final dan mengikat.
Dalam keterangan resmi Kementerian Perdagangan menyatakan bahwa pemerintah menyambut baik hasil putusan panel WTO yang diedarkan pada 10 Januari 2025 lalu, dan berharap agar Uni Eropa tidak lagi sewenang-wenang dalam memberlakukan kebijakan diskriminatif yang berpotensi menghambat arus perdagangan global.
BACA JUGA: Dampak Hukum dan Ekonomi Penyitaan Lahan Kelapa Sawit terhadap Industri Kelapa Sawit Indonesia
Indonesia telah melayangkan gugatan kepada Uni Eropa melalui Perutusan Tetap Republik Indonesia (PTRI) di Jenewa, Swiss, pada Desember 2019, dan ditindaklanjuti oleh Badan Penyelesaian Sengketa Organisasi Perdagangan Dunia (Dispute Settlement Body World Trade Organization/DSB WTO).
Gugatan Indonesia ini berhubungan dengan kebijakan Renewable Energy Directive (RED) II dan Delegated Regulation Uni Eropa yang dianggap telah mendiskriminasi produk kelapa sawit dengan cara membatasi akses pasar minyak sawit dan biofuel berbasis minyak kelapa sawit asal Indonesia.
Dalam kebijakannya, Uni Eropa dan negara-negara anggotnya memasukkan minyak sawit ke dalam kategori komoditas yang memiliki Indirect Land Use Change (ILUC) berisiko tinggi dalam memperparah deforestasi dan perubahan iklim global. Akibatnya, biofuel berbahan baku minyak kelapa sawit tidak bisa masuk ke Uni Eropa, karena tidak termasuk sebagai energi terbarukan Uni Eropa, termasuk minyak sawit asal Indonesia.
BACA JUGA: Uang, Mobil Mewah, dan Putusan Onslag: Kisah Suap Hakim dalam Perkara Minyak Goreng
Pemerintah Indonesia keberatan dengan dihapuskannya penggunaan biofuel dari minyak sawit oleh Uni Eropa, karena akan berdampak negatif pada ekspor minyak kelapa sawit Indonesia ke Uni Eropa, juga akan memberikan citra yang buruk untuk produk kelapa sawit di perdagangan global.
Menurut data Badan Pusat Statistik (BPS), ketika kebijakan Uni Erop mulai diberlakukan, telah menyebabkan nilai ekspor minyak sawit dan biofuel atau Fatty Acid Methyl Ester (FAME) Indonesia ke Uni Eropa menunjukkan tren negatif sejak awal tahun 2019. Nilai ekspor FAME Indonesia tahun 2018 mencapai 934 juta dollar AS dan menjadi mencapai 882 juta dollar AS pada 2019, atau menurun 5,58 persen. Nilai ekspor minyak kelapa sawit dan FAME ke dunia juga telah melemah 6,96 persen, yaitu dari 3,27 miliar dollar AS pada 2018 menjadi 3,04 miliar dollar AS pada tahun 2019.