InfoSAWIT, JAKARTA – Perdagangan ekspor minyak kelapa sawit berperan penting dalam perekonomian Indonesia. Kelapa sawit bahkan telah menjadi sumber devisa utama Indonesia, misalnya saja pada tahun 2021 nilai ekspor minyak sawit telah mencapai US$ 32,8 juta dengan volume 34,2 juta MT. Uni Eropa telah menjadi pasar tradisional dan strategis dalam perdagangan ekspor kelapa sawit Indonesia.
Diungkapkan Direktur Responsible Palm Oil Initiative (RPOI), Rosediana, perdagangan minyak kelapa sawit umumnya banyak menghadapi berbagai hambatan di Eropa. Dimulai dari munculnya Renewable Energy Directive 1 (RED-1); kemudian disusul dengan RED-II dengan aturan pelaksanaannya atau Delegated Regulation (semacam Peraturan Pemerintah di Indonesia).
Sementara, Donald Siahaan dari PPKS Medan menyampaikan berbagai aspek teknis biofuel yang berasal dari sawit – yang sangat bermanfaat baik di dalam maupun di luar negeri. Maka sudah seharusnya minyak sawit ini akan menjadi high on demand – atau tinggi permintaan pasarnya, sehingga seharusnya harganya tetap akan baik dan tinggi.
BACA JUGA: Menko Airlangga: Industri Sawit Mesti Berkelanjutan
Serta Petrus Gunarso berfokus pada isu-isu yang dipakai oleh EU untuk menghambat eksport Indonesia ke Uni Eropa – yaitu dalam hal biodiversity dan deforestasi serta kebijakan kehutanan secara umum.
Walaupun pada dasarnya induk dari permasalahan adalah perubahan iklim, maka sudah seharusnya masing-masing negara mematuhi Paris Agreement – yang telah diniatkan dalam bentuk NDC (Nationally Determined Contribution) masing-masing negara, namun ternyata EU membawa isu-isu lingkungan yang lebih luas dan bahkan jarang menyinggung implementasi NDC EU dalam perdebatan selama proses gugatan berlangsung.
Issue deforestasi dan perubahan lahan baik langsung maupun tidak langsung menjadi fokus implementasi dari RED-II Eropa. Issue ini dikemas dalam semangat memperjuangkan upaya konservasi dan pencegahan biodiversity loss. Tentu saja karena selama ini kerusakan dan hilangnya/punahnya biodiversity sudah terjadi sejak ratusan tahun yang lalu. Ketakutan akan hilangnya biodiversity ini yang ingin terus ditularkan kepada negara-negara berkembang, seolah agar kita tidak menuntut pelaksanaan NDC mereka.
Secara umum memang issue ketidakadilan, diskriminasi, dan ketakutan dalam persaingan perdagangan merupakan hal yang wajar untuk dipersengketakan di tengah kesulitan ekonomi pada dan pasca pandemi Covid 19 ini. Indonesia tetap optimis bahwa sawit itu baik – baik untuk Indonesia, untuk Dunia, dan juga untuk lingkungan. Yang diperlukan adalah kejujuran dan keadilan serta kesetaraan dalam semangat perdagangan bebas dunia. (T2)