InfoSAWIT, JAKARTA – Direktur Sawit Watch, Achmad Surambo menyoroti, bagaimana alokasi dana kelapa sawit untuk subsidi biodiesel telah berlangsung sejak program B20, hingga B35. Program subsidi ini telah menghasilkan keuntungan yang signifikan bagi sepuluh konglomerat kelapa sawit selama periode 2019-2021. Di antara penerima manfaat ini adalah Wilmar, yang menerima sekitar Rp 22,56 triliun, Musim Mas dengan Rp 11,34 triliun, Royal Golden Eagle sebesar Rp 6,41 triliun, Sinar Mas dengan Rp 5,53 triliun, Permata Hijau sebesar Rp 5,52 triliun, Darmex Agro sekitar Rp 5,4 triliun, Louis Dreyfus dengan Rp 2,9 triliun, Sungai Budi sekitar Rp 2,56 triliun, Best Industry dengan Rp 2 triliun, dan First Resources dengan Rp 1,9 triliun.
Menyusul upaya Kejaksaan Agung masih mengusut dugaan tindak pidana korupsi dalam pengelolaan dana sawit di Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDPKS) periode 2015 – 2022. Meski sudah ditingkatkan ke tahap penyidikan sejak 7 September lalu, penyidik belum menetapkan tersangka dalam kasus ini.
Achmad Surambo juga mengungkapkan bahwa total pungutan ekspor Crude Palm Oil (CPO) selama periode 2019-2021 mencapai angka yang fantastis, yaitu Rp 70,99 triliun. Dalam periode yang sama, subsidi yang dialokasikan kepada konglomerat kelapa sawit yang terintegrasi dengan Badan Pengelola Dana Perkebunan Kelapa Sawit (BPDP-KS) untuk produksi biodiesel mencapai Rp 68 triliun.
BACA JUGA: GAPKI: Produksi CPO Indonesia Pada Juli 2023 Naik 7,9 Persen
“Wilmar muncul sebagai penerima subsidi biodiesel terbesar, menerima hampir tiga kali lipat dari jumlah pungutan ekspor yang dikumpulkan oleh BPDP-KS. Perbedaan antara pungutan ekspor dan subsidi biodiesel meninggalkan Wilmar dengan surplus sebesar Rp 14,8 triliun,” ungkap Surambo , dalam keterangannya diterima InfoSAWIT, Senin (25/9/2023).
Lebih ironis adalah bahwa surplus yang dinikmati oleh korporasi kelapa sawit besar seperti Wilmar tidak sebanding dengan alokasi dana kelapa sawit untuk kebutuhan dasar petani kelapa sawit. Pada periode 2015-2019, hanya Rp 2,7 triliun yang dialokasikan untuk Program Peremajaan Kelapa Sawit Rakyat (PSR), Rp 140,6 miliar untuk pengembangan sumber daya manusia, dan Rp 1,73 miliar untuk pengembangan infrastruktur. Ketika digabungkan, alokasi ini bahkan tidak mencapai 10% dari total Rp 47,28 triliun yang dikumpulkan oleh BPDP-KS selama periode tersebut.
Sebagai hasilnya, Andi Muttaqien, Direktur Eksekutif Satya Bumi, menekankan bahwa penyelidik harus menyelami tujuan dibalik pembentukan BPDP-KS dan membandingkannya dengan realitas yang terjadi dari tahun 2015 hingga 2022. “Dana BPDP-KS harus dikembalikan sesuai dengan mandat awalnya, yaitu untuk membiayai kegiatan hulu seperti peremajaan, pelatihan, pengembangan sumber daya manusia, penelitian, dan pengembangan yang meningkatkan produktivitas petani, memungkinkan mereka naik dalam tangga ekonomi, dan menjadi bagian dari ekosistem komersial jangka panjang,” kata Andi.
BACA JUGA: Ekspor Minyak Sawit Indonesia pada 2022 Naik 5,76 Persen, India Konsumen Utama
Dalam konteks Hari Tani Nasional, yang diperingati setiap tanggal 24 September, Andi mengingatkan kita bahwa kedaulatan petani kelapa sawit akan sangat memengaruhi pertumbuhan industri kelapa sawit dan berkontribusi pada pembangunan ekonomi nasional. “Oleh karena itu, dana kelapa sawit seharusnya menjadi subsidi bagi petani kelapa sawit, bukan dinikmati oleh korporasi besar. Pungutan ekspor dari perusahaan-perusahaan ini seharusnya tidak kembali kepada mereka,” tutup Andi. (T2)