InfoSAWIT, BALI – Peneliti dari SMART Research Institute Indonesia, Reni Sukawati, memaparkan upaya inovatif untuk mengatasi dampak perubahan iklim pada budidaya kelapa sawit. Dalam presentasinya, Sukawati mengungkapkan tantangan yang dihadapi oleh sektor perkebunan kelapa sawit akibat perubahan iklim, khususnya defisit air yang semakin meningkat di beberapa wilayah Indonesia.
Sukawati menjelaskan bahwa perubahan iklim telah menyebabkan pola curah hujan yang tidak menentu, dengan musim hujan yang lebih basah dan musim kemarau yang lebih kering. “Di beberapa wilayah Indonesia, defisit air mencapai 200 mm dalam 25 tahun terakhir. Di Sumatera, defisit air berkisar antara 125-155 mm, sementara di Kalimantan Selatan mencapai 75-100 mm,” ujarnya saat berbicara pada International Conference on Oil Palm and Environment (ICOPE) Series 2025 Hari ke 3 dihadiri InfoSAWIT, di Bali Beach Convention, Bali, Jumat (14/02/2025).
Kelapa sawit, sebagai tanaman yang sangat sensitif terhadap stres air, mengalami penurunan produksi yang signifikan. “Defisit air dapat mengurangi produksi minyak sawit hingga 50%, yang berpotensi menyebabkan kerugian pendapatan hingga 4,6 miliar per tahun,” tambah Sukawati. Oleh karena itu, SMART Research Institute berkomitmen mulai mengembangkan solusi guna mengurangi kerugian tersebut.
Fokus Penelitian pada Daerah Kering
Untuk mengatasi tantangan ini, Sukawati dan timnya melakukan penelitian intensif di daerah-daerah kering seperti Muara Enim dan Jambi. “Kami fokus pada analisis dampak stres air terhadap parameter fisiologis dan metabolisme tanaman. Dari sini, kami mengembangkan protokol untuk mengidentifikasi faktor-faktor yang menyebabkan kegagalan produksi,” jelasnya.
Tim peneliti juga menggunakan teknologi hyperspectral imaging untuk memantau kinerja tanaman. “Kami mengukur berbagai komponen seperti produksi gula, aliran udara, dan efisiensi fotosintesis. Data ini membantu kami mengkarakterisasi material tanaman yang sensitif terhadap stres air,” tambah Sukawati.
Sejak 2019, SMART Research Institute telah mengimplementasikan prosedur skrining di platform khusus yang disebut water stress platform. “Platform ini dirancang untuk menampung 800 bibit dan dilengkapi dengan sistem irigasi otomatis serta sensor yang memantau kondisi tanah dan air,” ujar Sukawati.
BACA JUGA: Harga TBS Sawit Sumsel Periode I-Februari 2025 Tertinggi Rp 3.329,79 per Kg
Melalui platform ini, tim peneliti telah menguji 1.448 bibit dari berbagai famili kelapa sawit. “Kami memilih material yang menunjukkan peningkatan kinerja lebih dari 10% dibandingkan dengan varietas konvensional. Saat ini, kami telah mengidentifikasi 14 famili yang potensial, dua di antaranya telah divalidasi melalui uji coba lapangan,” paparnya.
Validasi Lapangan dan Rekomendasi
Uji coba lapangan dilakukan di tiga lokasi, Sumut, Kalsel, dan Kalteng dengan tingkat defisit air yang berbeda. “Hasilnya menunjukkan bahwa material tanaman yang tahan stres air memiliki kinerja terbaik di daerah dengan defisit air tinggi. Namun, material ini juga tetap produktif di daerah dengan defisit air rendah,” jelas Sukawati.
Sukawati menekankan bahwa kombinasi antara pemilihan material tanaman, manajemen air, dan teknologi monitoring merupakan kunci untuk meningkatkan ketahanan kelapa sawit terhadap perubahan iklim. “Dengan pendekatan ini, kami berharap dapat membantu petani mengoptimalkan produksi sekaligus mengurangi dampak lingkungan,” ujarnya.
BACA JUGA: WWF Indonesia di ICOPE ke-7: Dorong Sawit Berkelanjutan dan Kesejahteraan Petani
Ke depan, SMART Research Institute berencana untuk memperluas implementasi teknologi ini ke lebih banyak wilayah di Indonesia. “Kami juga akan terus mengembangkan varietas unggul yang lebih tahan terhadap stres air dan perubahan iklim,” pungkas Sukawati.
Dengan inovasi ini, diharapkan sektor kelapa sawit Indonesia dapat tetap berdaya saing dan berkelanjutan di tengah tantangan perubahan iklim yang semakin kompleks. (T2)