InfoSAWIT, JAKARTA – Dimulai dari keresahannya melihat praktik perkebunan sawit yang abai terhadap lingkungan. Sutiyana pun mengambil peran didepan untuk memperbaiki budidaya sawit yang lebih ramah lingkungan. Kini sebagai Ketua Umum Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (FORTASBI), perjuangannya bukan hanya soal produktivitas, tapi tentang menyatukan suara petani untuk menjaga bumi tanpa meninggalkan panen.
Dari Desa Pangkalan Tiga, Kotawaringin Barat, Kalimantan Tengah, kisah perubahan besar dimulai dari langkah-langkah kecil. Di sana, seorang petani sawit bernama Sutiyana tidak hanya mengelola kebun sawitnya, tetapi juga menumbuhkan harapan—bagi lingkungan, komunitas, dan masa depan petani sawit kecil di Indonesia.
Tahun 1996 menjadi bab awal dari perubahan itu. Saat program Koperasi Kredit Primer untuk Anggota (KKPA) masuk ke desa melalui PT Meta Epsi Agro, warga mulai mengenal sawit. Lima tahun berselang, pada 2001, masyarakat pun mulai menanam sawit secara mandiri. Namun di balik geliat ekonomi yang muncul, Sutiyana melihat celah yang membahayakan: praktik budidaya yang asal-asalan, pemupukan tanpa pedoman, dan perawatan kebun yang abai terhadap lingkungan.
BACA JUGA: Harga TBS Sawit Swadaya Riau Periode 11-17 Juni 2025 Turun Rp57,83 Per Kg
“Saya melihat banyak petani mandiri kurang memahami aturan budidaya sawit. Itulah yang membuat saya terdorong untuk memberikan pelatihan,” kenangnya membuka pembiacaraan dengan InfoSAWIT, pertengahan Mei 2025. Ia pun mulai bergerak—mendirikan kelompok tani, memfasilitasi pelatihan, hingga secara bertahap membangun kesadaran bahwa berkebun sawit tak hanya soal panen, tapi juga soal menjaga bumi.
Langkah besar terjadi pada 2017. Saat itu Sutiyana bertemu dengan lembaga Inovasi Bumi (INOBU), NGO yang memperkenalkan prinsip Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan Indonesia Sustainable Palm Oil (ISPO). “Sejak saat itu, kami mulai mengenalkan praktik budidaya yang baik, mulai dari legalitas lahan hingga pelestarian lingkungan,” ujarnya. Hasilnya, tahun itu juga kelompoknya berhasil meraih sertifikasi RSPO.
Perjalanan tentu tak mulus. Mengubah kebiasaan lama butuh waktu dan kesabaran. “Tidak bisa langsung percaya. Tapi lewat pelatihan berkelanjutan, komunikasi intensif, dan kerja kelompok, perlahan para petani mulai terbuka,” ujar Sutiyana. Ia membentuk koperasi seperti Koperasi Tani Subur dan Koperasi Karya Sawit Mandiri Jaya untuk menopang gerakan ini secara kelembagaan.
BACA JUGA: Petani Sawit Swadaya Didorong Hitung Karbon, FORTASBI Gelar Pelatihan di Pekanbaru
Lantaran memiliki misi yang sama, Sutiyana pun turut bergabung dengan Forum Petani Kelapa Sawit Berkelanjutan Indonesia (FORTASBI), di mana Sutiyana kini menjabat sebagai Ketua Umum. Forum ini mewadahi petani-petani dari berbagai daerah seperti Jambi dan Riau yang telah tersertifikasi RSPO, untuk bersama-sama menyebarkan praktik sawit berkelanjutan.
“FORTASBI hadir bukan hanya untuk mendampingi petani menuju sertifikasi, tapi juga untuk memastikan mereka bisa mempertahankan dan meningkatkan kualitas kebunnya,” katanya. Sutiyana menyebut ada tiga perubahan besar sejak forum itu aktif: meningkatnya produktivitas karena pelatihan panen dan pemupukan yang tepat; meningkatnya kesadaran keselamatan kerja; serta pengelolaan lingkungan yang lebih bertanggung jawab, termasuk pengelolaan limbah B3.
Tak lupa, ia menekankan pentingnya peran lembaga pendamping dalam mendorong petani bertransisi ke praktik berkelanjutan. “Kami butuh dukungan terus-menerus, bukan hanya soal pengetahuan, tapi juga soal mental dan organisasi,” ujarnya. (*)