InfoSAWIT, JAKARTA – Direktur Eksekutif Palm Oil Agribusiness Strategic Policy Institute (Paspi) Tungkot Sipayung mengingatkan pemerintah agar berhati-hati dalam menyikapi masalah minyak goreng (migor) di Indonesia. Dia menekankan bahwa antisipasi yang baik diperlukan untuk menghindari potensi berulangnya kelangkaan atau lonjakan harga migor di masa depan.
“Masalah minyak goreng ini rawan akan terjadi lagi. Jadi pemerintah harus berhati-hati jangan sampai salah langkah. Indonesia adalah produsen minyak sawit (crude palm oil/CPO) terbesar, mestinya masalah seperti itu dapat diantisipasi,” ujar Tungkot belum lama ini.
Dia berpendapat, semua pihak, termasuk pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat, perlu belajar dari kasus sebelumnya dan berusaha untuk memperbaiki situasi, serta lebih fokus menyiapkan regulasi dan tata kelola pasar minyak goreng yang baik.
BACA JUGA: El-Nino Munculkan Kekhawatiran Pasokan Minyak Sawit, Harga Diprediksi Masih Menguat
Tungkot menjelaskan, Indonesia adalah produsen dan sekaligus konsumen minyak sawit terbesar di dunia. Pertumbuhan penduduk dan ekonomi akan mendorong peningkatan konsumsi oleofood, khususnya migor. Berbagai studi mengungkap, pasar minyak nabati dunia akan mengalami excess demand (kelebihan permintaan) setidaknya hingga 2050. Artinya, kenaikan harga minyak sawit dunia sebagaimana yang terjadi pada 2022 ke depan bakal sering terjadi. “Kemungkinan terjadi kelangkaan minyak goreng domestik diperkirakan akan sering terjadi ke depan jika tidak ada perubahan kebijakan,” papar dia dalam keterangan resmi diterima InfoSAWIT.
Harga minyak nabati dunia, termasuk minyak sawit naik signifikan. Berdasarkan data World Bank (2022), harga minyak kedelai naik dari US$ 748 per ton pada Januari 2019 menjadi US$ 1,957 per ton pada Maret 2022. Pada periode yang sama, harga minyak sawit meningkat dari US$ 537 per ton menjadi US$ 1,823 per ton. “Peningkatan harga CPO dunia tersebut menyebabkan peningkatan harga minyak goreng sawit di pasar domestik,” ungkap Tungkot.
Dia mengatakan, kenaikan harga itu akan menciptakan dilema antara mengekspor (untuk mencari devisa) dan mengamankan kebutuhan domestik. Dilema tersebut jika tidak dipecahkan berpotensi menimbulkan persoalan politik dan hukum seperti yang terjadi tahun lalu. Solusi untuk dilema itu adalah pembagian tanggung jawab. Korporasi swasta yang menghasilkan minyak goreng sawit sebaiknya jangan dibebani tanggung jawab untuk menjamin penyediaan migor domestik. “Bebaskan ekspor untuk memperoleh devisa dari pasar dunia,” jelas Tungkot.
BACA JUGA: Prabowo Subianto Sebut Eropa Boikot Sawit Gue Pakai Untuk Biodiesel
Untuk memenuhi kebutuhan migor domestik, lanjut dia, khususnya migor untuk masyarakat menengah-bawah (sekitar 50 persen dari total konsumsi domestik) sebaiknya menjadi tanggung jawab BUMN (PTPN, ID Food, Bulog). Kapasitas pabrik migor PTPN saat ini sudah mencapai 1,6 juta ton kilo liter (kl), dan berpotensi terus bertambah. Jika dinilai perlu memberlakukan harga eceran tertinggi (HET) migor domestik, maka pemerintah dapat menugaskan BUMN untuk memenuhinya, dimana selisih harga ekspor dengan HET yang ditetapkan ditutup dari dana sawit.
Dengan cara demikian, korporasi migor swasta dapat leluasa mengekspor migor ke pasar dunia tanpa ada kewajiban domestic market obligation (DMO). Sedangkan BUMN dapat menjaga ketersediaan migor domestik (migor untuk rakyat). Hal itu perlu diatur selevel peraturan presiden. Selama periode 1971-1990, Indonesia sempat mengadopsi kebijakan semacam itu dan berhasil.
“Dengan cara demikian maka dilema atau trade off migor untuk ekspor vs migor untuk rakyat, yang terjadi selama ini dapat terselesaikan dan tak terulang lagi,” tandas Tungkot. (T2)