InfoSAWIT, JAKARTA – Perhelatan akbar IPOC 2022 dan RT RSPO 2022 secara nyata tidak berkontribusi positif terhadap harga jual CPO di penghujung tahun 2022. Pasalnya, keberadaan komoditas licin ini, sangat dipengaruhi keberadaan supply dan demand (pasokan dan permintaan) pasar global termasuk Indonesia. Adanya beban pajak BK dan pungutan sebesar US$ 118 per ton di awal tahun, seolah meluluh lantahkan harga jual TBS petani yang masih sulit bernafas.
Jatuhnya harga komoditas CPO dan produk turunannya memang bukan kali pertama ini terjadi. Kejadian berulang tahunan ini, sudah sering terjadi dalam bisnis minyak sawit global. Lantaran, keberadaan minyak sawit mentah (CPO) yang sebagian besar diproduksi Indonesia ini, masih mengalami fluktuasi permintaan pasar global setiap tahunnya. Produksi CPO Indonesia, pada tahun 2020/2021 sebesar 47,6 juta ton dan mengalami peningkatan menjadi 50,6 juta ton pada periode yang sama tahun 2021/2022.
Permintaan pasar global akan CPO dan produk turunannya, dapat digambarkan melalui laju pertumbuhan ekspor setiap tahunnya. Dimana, pasar ekspor selalu didominasi India, China dan Uni Eropa selama beberapa tahun ini. Tujuan ekspor CPO Indonesia terbesar yaitu Pasar India rata-rata dalam 5 tahun terakhir terus mengalami penurunan sebesar 1% tiap tahunnya, dari 20% hingga mencapai hanya 17% per tahun.
BACA JUGA: Bisnis Sawit 2023: Menggantang Cuan Bisnis Minyak Sawit
Berdasarkan data USDA (Kementerian Pertanian Amerika Serikat) pada tahun 2020/2021 silam, pasar India masih mengekspor sebesar 18% atau sebanyak 8,6 juta ton pertahun. Namun pada periode yang sama tahun 2021/2022, pasar ekspor India turun menjadi 17% atau sebanyak 8,5 juta ton pertahun. Sedangkan kondisi stagnasi ekspor CPO asal Indonesia dialami pasar Cina, dimana permintaan akan CPO tidak mengalami pertumbuhan. Pada tahun 2020/2021 silam, pasar Cina masih mengekspor sebesar 14% dan bertahan di tahun berikutnya pada periode yang sama.
Keberadaan permintaan pasar ekspor Uni Eropa yang digunakan sebagai pintu masuk dari 27 negara common wealth ini, malah kebalikan dari pasar India dan Cina. Kendati mengeluarkan banyak aturan yang memberatkan bisnis CPO dan produk turunannya, namun permintaan ekspor CPO dan produk turunan asal Indonesia malah terus bertumbuh.
Pada tahun 2020/2021, pasar ekspor Uni Eropa hanya sebesar 13% atau sebanyak 6,2 juta ton. Di tahun 2021/2022 pada periode yang sama, para ekspor Uni Eropa bertumbuh menjadi 14% atau sebanyak 6,9 juta ton per tahunnya. Meningkatnya permintaan pasar Uni Eropa akan CPO dan produk turunannya, memang tak bisa dilepaskan dari krisis ekonomi global yang telah melanda Benua biru ini.
BACA JUGA: Pasar Ekspor Minyak Nabati Bergeliat: Hati-hati Terjadi Turunnya Permintaan Minyak Sawit
Adanya green deal regulation yang mengikat 27 negara dalam pasar Uni Eropa ini, memberikan gambaran luas akan aturan mengikat terhadap keberadaan minyak nabati termasuk CPO dan produk turunannya. Kendati sebagian besar masyarakat Uni Eropa mengalami penurunan kesejahteraan, namun ambisi parlemen dan para pemimpin Uni Eropa untuk memangkas emisi karbon pada tahun 2030 hingga 0%, menjadi pintu utama dalam mengambil kebijakan perdagangannya.
Pintu masuk terbesar bagi pasar Uni Eropa melalui jalur sertifikasi berkelanjutan yang telah dilakukan Roundtable on Sustainable Palm Oil (RSPO) dan International Sustainability & Carbon Certification (ISCC). Berdasarkan informasi dari RSPO, sebagian besar pasar Uni Eropa, telah menggunakan Certified Sustainable Palm Oil (CSPO) sebagai bahan baku produk yang dihasikannya. Bahkan RSPO mengklaim, dari anggota Retailer&Manufaktur RSPO yang berasal dari Uni Eropa, sebanyak 93% telah menggunakan CSPO sesuai timebound plan yang mereka lakukan.
Hanya saja, keberadaan CSPO yang digunakan sebagai salah satu ingredien produk yang dihasilkan, hingga dewasa ini belum dicantumkan pada label produk mereka. Bisa jadi, kondisi pelabelan ingredient produk CSPO, juga menjadi kekhawatiran akan boikot yang disuarakan para aktivis LSM sosial dan lingkungan Uni Eropa yang sebagian besar lantang menyuarakan anti minyak sawit.