InfoSAWIT, JAKARTA – Peneliti Lembaga Penyelidikan Ekonomi dan Masyarakat Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (LPEM FEB UI), Eugenia Mardanugraha mengingatkan, Pemerintah harus berjuang keras di Word Trade Organization (WTO) untuk melobi Uni Eropa (UE) terkait pengenaan bea masuk imbalan (BMI) biodiesel.
“Lobi tersebut harus dilakukan secara terukur dan berani karena imbas dari kebijakan itu adalah turunnya devisa ekspor Indonesia dan nasib jutaaan petani yang makin terpuruk,” kata Eugenia dalam keterangannya kepada InfoSAWIT, belum lama ini.
Menurut Eugenia, perjuangan pada perundingan tingkat internasional di WTO harus terus dilakukan dengan mengerahkan seluruh kemampuan lobi terbaik. Apalagi, UE telah memberlakukan BMI di kisaran 8-18 persen sejak 2019.
BACA JUGA: Mengenal Lebih Dekat Sang Duta Besar Sawit (Bagian 4): Aktif Berorganisasi
Pengenaan BMI itu menimbulkan kerugian serius terhadap industri Indonesia, khususnya setelah perekonomian dunia mulai bergerak pascapandemi Covid-19. “Indonesia sendiri menilai proses penyelidikan dan pengenaan BMI tersebut inkonsisten terhadap aturan WTO,” ujar Eugenia .
Disisi lain, Eugenia juga mengingatkan pentingnya meningkatkan produksi sawit di dalam negeri, sehingga harga biodiesel bisa kompetitif setara harga solar. “Ini penting agar kedepan, biodiesel tidak perlu lagi terus menerus disubsidi lagi dari dana yang dikelola oleh BPDPKS,” kata Eugenia.
Eugina juga menyarankan pentingnya melakukan diversifikasi penggunaan sawit sebagai bahan bakar di dalam negeri. “Penciptaaan biobensin mungkin bisa menjadi alternatif, sehingga dengan mudah kita mengendalikan suplai biodiesel ke UE,” kata Eugenia.
Seperti diketahui, pada 15 Agustus 2023 lalu, Indonesia telah mengajukan permohonan konsultasi sengketa ke WTO terkait pengenaan bea masuk imbalan (BMI) biodiesel oleh UE. (T2)