InfoSAWIT, JAKARTA – Perkebunan kelapa sawit secara umum dalam pengelolaannya dibagi dalam tiga kelompok besar, yakni perkebunan kelapa sawit besar swasta nasional, perkebunan kelapa sawit milik pemerintah dan perkebunan kelapa sawit milik masyarakat.
Jelas, untuk kelompok perkebunan kelapa sawit besar swasta nasional dan pemerintah dalam pengelolaan tenaga kerjanya akan selalu merujuk pada UU No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan. Akan sangat tidak bijak bila kemudian para pelaku perkebunan kelapa sawit besar swasta nasional tersebut mempekerjakan angkatan tenaga kerja yang dilarang dalam regulasi, termasuk mematuhi aturan dalam mempekerjaan para pekerja perempuan. Apalagi perlakuan tenaga kerja di perkebunan kelapa sawit besar swasta nasional akan dipantau dengan ketat oleh pemerintah setempat.
Lantas bagaimana dengan perkebunan kelapa sawit milik masyarakat? secara umum perkebunan kelapa sawit rakyat ini dibagi dalam beberapa kelompok, merujuk data dari Serikat Petani Kelapa Sawit (SPKS), pengelompokan petani sawit swadaya (diluar petani plasma) dibagi dalam empat kelompok, pertama kelompok petani sawit yang memiliki lahan seluas 1-4 ha.
BACA JUGA: Polda Kalteng Tingkatkan Pengamanan Kebun Sawit untuk Cegah Pencurian
Kemudian kelompok kedua dengan kepemilikan lahan seluas 5-10 ha, kelompok ketiga kepemilikan dengan luas lahan antara 11-19 ha, dan kelompok ke empat kepemilikan dengan luasan lahan mencapai 20-24 ha.
Ada juga kepemilikan lahan sawit diatas 25 ha, kategori ini sejatinya sudah tidak termasuk dalam kelompok petani, lantaran telah melebihi batas kepemilikan lahan sesuai regulasi, dengan kata lain kelompok ini sudah termasuk kategori pengusaha dengan kepemilihan lahan kecil dan sedang, inilah yang kemudian banyak menggunakan buruh karyawan dalam mengelola lahan perkebunan kelapa sawitnya.
Dikatakan Ketua Bidang Ketenagakerjaan Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit (GAPKI), Sumarjono Saragih, pemantauan tenaga kerja untuk seluruh kelompok yang mengusahakan perkebunan kelapa sawit menjadi sangat penting, guna mengawasi bagaimana perlindungan tenaga kerjanya dilakukan dan mempekerjakan siapa. “Seringkali kondisinya industri kelapa sawit yang akan selalu memikul tanggung jawab tersebut,” katanya.
BACA JUGA: Harga Stearic Acid di AS Meningkat pada Juni 2024
Sebab itu kata Sumarjono, sebaiknya dikedepankan untuk mencari solusi bersama, disertai dengan penegakan hukum yang tegas. Sementara untuk perkebunan kelapa sawit swasta besar sudah ada instrumennya, baik itu untuk penegakan hukum maupun dalm mempekerjakan perempuan. Perlu juga dilihat bahwa apakah dengan mempekerjakan perempuan itu ada upaya eksploitasi.